Jumat, 04 April 2008

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Kedua): 1920-1953


Dari tahun 1920 sampai 1940, para juri komite Nobel Kimia memberikan penghargaan Nobel untuk cabang ilmu biokimia yang sarat dengan penemuan hormon-hormon dan enzim-enzim. Padahal pada waktu yang bersamaan hal yang lebih fundamental, teori ikatan kimia, sedang mengalami revolusi sejalan dengan revolusi fisika kuantum. Namun karena teori ini masih penuh dengan hal-hal yang membingungkan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, komite Nobel Kimia memandang revolusi tersebut dengan sebelah mata dan memberikan penghargaan Nobel untuk penemuan-penemuan lain yang dianggap lebih penting.

Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai penemuan hormon-hormon dan enzim-enzim ini. Enzim merupakan protein yang sangat dibutuhkan untuk proses biologi dalam tubuh manusia. Sedangkan hormon mengaktifkan reaksi-reaksi yang spesifik berhubungan dengan pertumbuhan badan dan seksual. Pada tahun 1927, 1928, 1929, dan 1930, penghargaan Nobel diberikan berturut-turut untuk penelitian mengenai asam bile, steroids, dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengan enzim. Pada tahun 1937 dan 1938, sekali lagi secara berturut-turut penghargaan Nobel diberikan untuk riset mengenai vitamin yang sering berperan mengaktifkan enzim-enzim. Riset-riset mengenai hormon pada awalnya banyak dianugerahi Nobel Kimia. Untuk tahun-tahun berikutnya para peneliti hormon mendapat penghargaan Nobel Kedokteran.

Antara tahun 1901 dan 1930, enam dari sembilan penghargaan Nobel untuk cabang ilmu kimia fisik dianugerahkan untuk riset mengenai isotop. Isotop adalah unsur yang memiliki jumlah netron yang berbeda dari yang biasanya ditemukan secara alamiah, sehingga isotop tersebut memiliki sifat yang tidak sama dengan unsur dasarnya. Contohnya hidrogen yang memiliki dua isotop: deuterium dan tritium. Hidrogen sendiri memiliki satu proton dan nol netron di inti atomnya (nukleus), deuterium memiliki satu proton dan satu netron. Sedangkan tritium memiliki satu proton dan dua netron. Ketiga unsur ini memiliki satu elektron yang mengorbit nukleusnya. Deuterium lebih stabil dibandingkan hidrogen dan tritium sangat radiaoktif. Tritium memancarkan partikel-partikel beta dan memiliki waktu paruh 12.3 tahun.

Pada tahun 1921 penghargaan Nobel dianugerahkan kepada Frederick Soddy (rekan sekerja Ernest Rutherford) yang berhasil menemukan isotop radioaktif di tahun 1913. Francis Aston mendapat Nobel tahun berikutnya (1922) untuk penemuan isotop-isotop yang tidak radioaktif pada tahun 1919 (dia juga menemukan spektroskopi massa). Harold Urey menerima Nobel tahun 1934 untuk penemuan isotop hidrogen (deuterium). Kepada pasangan Joliot-Curie Nobel Kimia dianugerahkan di tahun 1935 atas keberhasilan mereka membuat isotop-isotop baru di laboratorium (isotop-isotop ini tidak ditemukan secara alamiah). George de Hevesy menang di tahun 1943 untuk penemuan teknik penelusuran isotop (isotope tracer) yang menggunakan radioaktivitas untuk menelusuri jejak-jejak reaksi kimia.

Gambar : Isotope separator

Selain isotope tracer, beberapa alat-alat penelitian kimia lainnya muncul pada saat yang bersamaan dan masih digunakan sampai sekarang. Metode pemisahan zat dengan menggunakan putaran cepat (ultracentrifuge) berhasil memenangkan penghargaan Nobel tahun 1926 yang diraih oleh Theodor Svedberg. Arne Tiselius (Nobel 1948) memperbaiki metode ini untuk memisahkan globulin atau protein serum yang berperan dalam pengembangan kromatografi. Kedua ilmuwan tersebut berkebangsaan Swedia. Metode Tiselius ini sebenarnya telah ditemukan ilmuwan Rusia Mikhail Tsvett pada tahun 1906. Tapi Tsvett menulis dalam bahasa Rusia dan karya tulisnya tidak dikenal di luar. Jadi Tsvett tidak pernah mendapat Nobel. Pada tahun 1944, A.J.P. Martin dan R.L.M Synge, keduanya dari Inggris, memperbaiki lebih lanjut metode ini dan mereka mendapat Nobel di tahun 1952. Dan ketika Richard Zsigmondy dari Jerman menemukan mikroskop elektron pada tahun 1903, 22 tahun kemudian dia dianugerahkan Nobel Kimia untuk penemuannya.


Gambar : Mikroskop Elektron

Alat-alat penelitian yang disebut di atas sangat berguna untuk kemajuan ilmu kimia. Tanpa alat-alat tersebut, sulit untuk membayangkan kepesatan kemajuan ilmu kimia seperti yang kita ketahui sekarang ini. Penemuan satu instrumen bahkan dapat mendukung suatu teori atau menunjang perkembangan suatu hipotesis yang menghasilkan hadiah Nobel juga. Contohnya, di tahun 1920-an kimiawan Jerman Hermann Staudinger mengusulkan ide bahwa ukuran molekul-molekul dapat menjadi sebesar apa pun yang kita bayangkan (contohnya plastik dan polimer). Ide ini mulanya kurang mendapat dukungan saat itu karena tidak pernah ditemukan molekul sebesar polimer. Ultracentrifuge yang ditemukan Svedberg akhirnya berhasil mengkonfirmasi ide Staudinger, yang kemudian mendapat penghargaan Nobel Kimia tahun 1953.

Satu lagi alat penelitian yang sangat berguna ditemukan oleh Fritz Pregl dari Austria. Sampai sekitar tahun 1900, periset kimia memerlukan setidaknya 0.20 gram zat untuk dianalisa. Berton-ton bahan perlu diproses untuk menghasilkan kuantitas yang diperlukan ini. Pergl menemukan timbangan yang dapat menimbang zat sekecil 3 miligram. Dia mendapat Nobel tahun 1923.

Tidak ada komentar: