Tampilkan postingan dengan label Bioteknologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bioteknologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 April 2008

Biosensor dan Aplikasinya


Di abad milenium ini, segala sesuatu yang serba praktis dan mudah serta ditunjang oleh manfaatnya yang besar, pastilah di cari oleh setiap orang. Salah satunya adalah sensor. Aplikasi sensor yang paling sering kita jumpai adalah pintu otomatis yang terdapat di pusat-pusat perbelanjaan. Pintu akan terbuka dan tertutup secara otomatis apabila ada orang yang lewat. Contoh lainnya adalah detektor logam yang terdapat pada bandara udara, ataupun detektor asap yang terdapat dalam perkantoran.

Secara umum, sensor sebenarnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika lebih kepada kemampuannya untuk mendeteksi kondisi besaran fisika seperti tekanan, gaya, tinggi permukaan air laut, kecepatan angin, dan sebagainya. Sedangkan sensor kimia merupakan alat yang mampu mendeteksi fenomena kimia seperti komposisi gas, kadar keasaman, susunan zat suatu bahan makanan, dan sebagainya. Termasuk ke dalam sensor kimia ini adalah biosensor. Dewasa ini, biosensor telah banyak diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti dan industri, dan dalam dunia biosensor research, topik yang sedang berkembang sekarang ini adalah biosensor yang berbasis DNA (genosensor).

Biosensor

Biosensor sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang disebut molekul sasaran. Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas, arus listrik, potensial listrik atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran tersebut kemudian diproses sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti.

Biosensor yang pertama kali dibuat adalah sensor yang menggunakan transduser elektrokimia yaitu elektroda enzim untuk menentukan kadar glukosa dengan metode amperometri. Sejauh ini, biosensor dalam perkembangannya mempunyai tiga generasi yaitu generasi pertama; dimana biosensor berbasis oksigen, generasi kedua; biosensor menjadi lebih spesifik yang melibatkan “mediator” diantara reaksi dan transduser, dan terakhir generasi ketiga; dimana biosensor berbasis enzyme coupling.

Untuk produk-produk komersial dari teknologi biosensor, sekarang ini telah banyak diperjualbelikan. Biosensor eksternal/internal dalam bentuk chip bahkan telah diproduksi oleh perusahaan Amerika i-Stat, MicroChips, Digital Angel, VeriChip yang dapat ditanam dalam tubuh manusia. Beberapa Perusahaan Jepang pun turut berpartisipasi, seperti Matsushita Electric Industrial Co. dengan teknologi biosensornya yang mampu menetapkan secara cepat dan mudah pengukuran kolesterol darah. Tokyo Medical and Dental University dengan biosensor nafasnya yang memanfaatkan enzim monoamine oksidase A (MAO A) dan lain sebagainya. Tetapi secara umum untuk penguna biosensor, hampir 60% pengunanya berasal dari health-care industri.

Prinsip Kerja Biosensor

Pada dasarnya biosensor terdiri dari tiga unsur yaitu unsur biologi (reseptor biologi), transduser, dan sistem elektronik pemroses sinyal. Unsur biologi yang umumnya digunakan dalam mendesain suatu biosensor dapat berupa enzim, organel, jaringan, antibodi, bakteri, jasad renik, dan DNA. Unsur biologi ini biasanya berada dalam bentuk terimmobilisasi pada suatu transduser. Immobilisasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan (1) adsorpsi fisik, (2) dengan menggunakan membran atau perangkap matriks atau (3) dengan membuat ikatan kovalen antara biomolekul dengan transduser.

Untuk transduser, yang banyak digunakan dalam suatu biosensor adalah transduser elektrokimia, optoelektronik, kristal piezoelektronik, field effect transistor dan temistor. Proses yang terjadi dalam transduser dapat berupa calorimetric biosensor, potentiometric biosensor, amperometric biosensor, optical biosensor maupun piezo-electric biosensor. Sinyal yang keluar dari transduser ini kemudian di proses dalam suatu sistem elektronik misalnya recorder atau komputer.

Berikut adalah contoh skema umum dari biosensor :

Aplikasi Biosensor

Aplikasi biosensor pada dasarnya meningkat seiring dengan berkembangnya keperluan manusia dan kemajuan iptek. Tetapi secara umum tetap didominasi untuk aplikasi dibidang medis dan lingkungan hidup.
Penutup

Di Indonesia penelitian di bidang biosensor telah berkembang pesat. Tetapi kebanyakan penelitian di bidang ini berhenti pada tahap publikasi ilmiah di jurnal-jurnal atau seminar-seminar. Dan tidak sampai menyentuh tahap paten/aplikasi untuk di komersialisasikan. Hal ini sangat di sayangkan, padahal penelitian para ilmuwan Indonesia sangat aplikatif semisal tentang penelitian pembuatan biosensor untuk mendeteksi kadar alkohol atau daging hewan tertentu pada produk makanan atau minuman, atau penelitian untuk membuat biosensor yang mampu mendeteksi pestisida, serta berbagai penelitian lainnya. Semuanya ini berpotensi untuk dikembangkan.

Secara kualitatif, kebutuhan akan biosensor di Indonesia sangat besar. Dan diperkirakan permintaan biosensor di pasaran dunia akan selalu meningkat tiap tahun. Sebagai perbandingan, data statistik menunjukkan untuk penjualan sensor di bidang non milter saja pada tahun 2008 akan mencapai 50-51 miliar dolar AS. Hal ini dari sisi ekonomis sangat mengiurkan. Sehingga sudah seyogyanya para peneliti dan pemerintah Indonesia memanfaatkan momentum tersebut untuk dapat merintis dan mengembangkan sistem sensor dengan kreatifitas, langkah dan kebijakan yang lebih baik lagi.

Kamis, 03 April 2008

RNAi vs H5N1


RNAi merupakan singkatan dari RNA Interference atau dikenal juga sebagai post transcriptional gene silencing dan transgene silencing. RNAi merupakan mekanisme alam di dalam sel untuk mengatur dan menghentikan ekspresi gen (melalui proteinnya) secara spesifik. RNAi baru dikembangkan untuk keperluan klinis sejak 1998 walaupun sudah mulai ditemukan dari tahun 1990 dalam penelitian tumbuhan petunia hasil kerjasama Amerika-Belanda (Napoli et al. and Stuitje et al., 1990).

Perkembangannya ke dunia medis cukup berkembang mengingat banyak penyakit disebabkan oleh aktivitas spesific gen yang "liar". Aktivitas gen-gen yang liar itu bisa disebabkan oleh mutasi ataupun infeksi virus seperti kanker (PTEN), HIV, hingga flu. Melalui RNAi, gen-gen tersebut dapat dengan relatif mudah dikendalikan walaupun tidak sepenuhnya 100% berhasil mengingat kondisi sel tiap-tiap orang berbeda-beda.

Pada dasarnya, RNAi di alam menstimulasi sel untuk menhancurkan RNA dari gen asing/termutasi dengan diawali oleh induksi RNA untai ganda kecil (RNA double stranded - dsRNA) yang dihasilkan sel itu sendiri. Di dalam praktek terapi, RNAi diinduksi oleh dsRNA sintesis yang disebut 'small interfering RNA' (siRNA). Kehadiran siRNA ini akan mengikat RNA asli membuat enzim Ribozyme, penghancur RNA asing, menghancurkan RNA asli yang seharusnya "diterjemahkan" menjadi protein. Sifatnya yang spesifik membuat terapi RNAi tergolong aman untuk diterapkan. Melalui RNAi pula, resistensi virus terhadap obat-obatan dapat dihambat. Sayangnya, terapi ini masih sangat tergolong mahal.

Novartis dan Alnylam, dua perusahaan farmasi besar di dunia, pada tanggal 27 Februari 2006 mengumumkan bahwa mereka akan mengembangkan terapi RNAi untuk pandemik flu seperti flu burung yang sedang merebak akhir-akhir ini. RNAi diterapkan pada untaian RNA dari gen yang disusupi oleh DNA virus. Novartis dan Alnylam keduanya tampak optimis mampu membuat siRNA dari setiap macam jenis virus yang menyebabkan flu burung khususnya H5N1. Diharapkan melalui terapi ini, pandemic flu burung dapat ditekan

Kanari Kimia dalam Tambang Batu Bara Biologis

Kimiawan telah memberikan kontribusi penting dalam bidang biosensor. Biosensor adalah suatu alat yang mengenali target molekul dalam sampel dan menerjemahkan konsentrasi senyawa tersebut sebagai sinyal elektrik melalui kombinasi tepat dari sistem pengenalan dan transduser. Sebagai contoh, untuk mengetahui apakah terdapat oksigen dalam suatu tambang batu bara, satu hal mudah yang dapat dilakukan adalah menggunakan burung kanari. Sambung sebuah mikrofon ke kandang kanari tersebut kemudian kandang diturunkan ke dalam tambang batu bara. Jika memang terdapat oksigen maka burung kanari akan bernyanyi. Jika dianalogikan sebagai sebuah biosensor, maka oksigen adalah analit, burung kanari adalah sensor dan mikrofon adalah sebuah transduser. Dengan kombinasi ketiganya maka sebuah biosensor yang baik dapat diciptakan.

Kenapa biosensor? Contoh yang telah umum adalah deteksi insulin dan glukosa dalam darah menggunakan alat digital. Alat digital ini yang kemudian dapat dikembangkan menjadi alat medis. Sinyal elektrik yang dihasilkan dari konsentrasi dalam darah dapat disambungkan kepada suatu pompa insulin kecil yang menyediakan kadar insulin yang tepat untuk jumlah glukosa yang ada dalam darah. Jadi secara tidak langsung ini dapat menjadi sebuah pankreas artifisial. Pengembangan biosensor lah yang dapat memberikan suatu pengembangan pula terhadap alat alat penunjang kehidupan manusia lainnya yang sifatnya krusial. Namun pengembangan ini pulalah yang menjadi maslah, karena biosensor harus bersifat sangat spesifik terhadap suatu molekul substrat yang didesain untuk dideteksi, atau dalam kata lain, tidak bereaksi dengan molekul lainnya.

Terdapat banyak sekali jurnal penelitian yang berkisar tentang biosensor, dan mulai menjadi topik hangat penelitian di tahun-tahun sekarang. Namun ilustrasi yang tepat dapat diberikan oleh Tony James dan Christopher Cooper di Universitas Birmingham. Penelitian mereka adalah tentang sensor untuk gula.
Bandingkan struktur glukosamina dengan glukosa; perbedaannya hanya terletak pada gugus hidroksi (-OH) pada glukosa dan gugus amina (-NH2) dalam glukosamina. Kunci dari pengembangan biosensor untuk senyawa ini ialah gugus amino dari glukosamina dapat diprotonasi. Efek dari protonasi ini ialah pKa dari gugus amino terprotonasi sangat dekat dengan pH fisiologis 7.4, sehingga glukosamina dapat terprotonasi hingga batas deteksi dibawah kondisi dimana penelitian dapat dilakukan.

Molekul sensor yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah senyawa 1. Dua senyawa yang mirip (kontrol nya adalah 2 dan 3) penting untuk membuktikan asersi senyawa 1 bersifat spesifik terhadap glukosamin.

Pada molekul sensor 1, kita memiliki antrasen yang berwarna biru dan 3 jenis perubahan yang mengandung dua atom nitrogen pada bagian yang berbeda dari molekul (merah dan hijau). Agar antrasen dapat berfungsi, molekul merah dan hijau ini harus hilang. Bagaimana kedua molekul ini dibuang dan kenapa mereka hanya dapat dibuang oleh glukosamina? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat sistem cincin antrasen.

Sistem antrasen (biru) memiliki sifat fluorosen. Ini berarti ketika antrasen menyerap cahaya nir-UV pada panjang gelombang tertentu, antrasen akan memancarkan kembali cahaya pada panjang gelombang yang lebih besar. Ini dimngkinkan sistem ekstensif dari ikatan rangkap terkonjugasi (ikatan rangkap teralternasi dengan ikatan tunggal) dalam cincin antrasen. Dan sifat fluorosens inilah yang menjadi sinyal untuk biosensor. Pada molekul 1, 2, dan 3 fluorosensi 'dipuaskan' (mekanismenya tidak akan dijelaskan disini) dengan interaksi dari elektron-elektron dalam cincin antrasen (elektron yang terlibat dalam fluorosensi) dengan pasangan elektron bebas dari nitrogen. Senyawa 2 dan 3 masing-masing memiliki satu nitrogen sebagai 'saklar mati'', senyawa 1 memiliki dua 'saklar'. Kunci dari biosensor ini adalah ketika pasanagan elektron bebas pada nitrogen terlibat dalam interaksi kimia lain, flourosensi antrasen tidak lagi terpuaskan, atau dalam kata lain molekul merah dan hijau dibuang dan fluorosensi teramati.

Glukosamina dapat membuang dua nitrogen dalam molekul 1 oleh interaksi spesifik dengan dua gugus reaktif dalam molekul, asam boronat dan eter mahkota, dan ketika dua saklar nitrogen dibuang (molekul merah dan hijau) maka antrasen dapat berflurosensi. Gugus diol proksimal dari glukosamina berinteraksi dengan gugus asam boronat, dan gugus amina dari glukosamina berinteraksi dengan gugus eter mahkota. Molekul yang mirip, glukosa, mamu berinteraksi dengan gugus asam boronat namun karena tidak memiliki gugus amina, maka glukosa tidak akan bereaksi dengan gugus eter mahkota. Pertama-tama mari lihat interaksi dengan gugus asam boronat.

Asam boronat (senyawa dengan struktur umum RB(OH)2, dimana R adalah gugus apapun) sernig digunakan oleh kimiawan untuk berinteraksi dengan beberapa jenis diol- senyawa yang memiliki 2 gugus OH proksimal.
Dapat dilihat baik glukosa maupun glukosamina mengan gugus OH proksimal pula. Ketika senyawa 1 dan 3 diperlakukan dengan glukosa dalam bentuk larutan, gula akan bereaksi dengan gugus asam boronat baik di 1 maupun 3. Pada kedua kasus, ternyata kedua reaksi memperkuat interaksi asam-basa Lewis antara boron dan nitrogen di bagian merah sehingga nitrogen pada bagian merah tidak tersedia untuk menciptakan fluorosensi antrasen. Hasilnya ialah ketika senyawa 3 digunakan sebagai sensor, antrasen akan 'menyala' ketika glukosa bereaksi dengan gugus asam boronat. Namun, senyawa 1 memiliki nitrogen kedua (hijau) yang dapat memuaskan fluorosens fluorosens antrasen, dan ini tidak dipengaruhi oleh reaksi dari glukosa dengan asam boronat. Karena inilah, senyawa 3 berfluorosens dengan kehadiran glukosa, tapi senyawa 1 tidak.

Saklar nitrogen kedua dalam senyawa 1 ialah bagian dari 'eter mahkota-aza' (hijau). Eter mahkota-aza (EMA) diketahui dapat mengikat ion amonium (senyawa dengan benuk RNH3+ , dimana R adalah gugus apapun), dan interaksi yang menyebabkan pengikatan ini adalah ikatan hidrogen dari proton dalam ion amonium dengan pasangan elektron bebas dari EMA. Sebagai catatan, pengikatan ini melibatkan pasangan elektron bebas dari nitrogen, selain itu pada pH fisiologis, fraksi signifikan dari glukosamina tetap ada sebagai ion amonium.

Sehingga ketika senyawa 1 mengikat glukosamina, pasangan elektron bebas dari kedua nitrogen menjadi 'terikat', pemuasan fluorosens oleh kedua pasangan elektron bebas nitrogen dihilangkan, antrasen akan menyala. Seperti dijelaskan diatas, ketika senywa 1 mengikat glukosa, pasangan elektron bebas dari nitrogen dalam gugus eter mahkota tetap tidak terafiliasi. Hasilnya : senyawa 1 berfluorosensi ('menyala') hanya ketika glukosamina telah terikat.