Tampilkan postingan dengan label Nobel Kimia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nobel Kimia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 April 2008

Penghargaan Nobel untuk bangsa Indonesia? (Bagian II)



Mari kita telaah lebih lanjut kemungkinan bangsa Indonesia mencetak peraih Nobel di bidang sains. Arah ke sana sudah ada, walau belum dapat dikatakan merupakan program nasional. Selain TOFI, kita juga memiliki TOKI (Komputer), TOKIMI (Kimia), TOBI (Biologi) dan TOMI (Matematika). Dari kelima tim nasional tersebut, tiga yang terakhir sepertinya belum terbina, teroganisir rapi atau bahkan terkenal seperti halnya TOFI atau TOKI. Karena Nobel Komputer tidak ada, berarti dapat dikatakan baru ilmu fisika (di antara cabang-cabang ilmu hadiah Nobel) yang mendapat perhatian serius di tanah air. Bisa jadi juga karena TOFI yang telah paling lama berkecimpung di ajang olimpiade internasional. Kalau TOBI baru ikut Olimpiade Biologi Internasional sejak tahun 2000 dan TOKIMI berkecimpung sejak tahun 1997, TOFI sudah terjun sejak tahun 1993.

Terlepas dari ketidakseragaman pelatihan dan pembinaan murid-murid SMU yang ikut serta di tim-tim olimpiade tersebut, banyak hal dan struktur penunjang lain yang perlu diperhatikan. Dan penulis bukan berbicara soal sistem pemerintahan yang memang masih mencari jati diri, ataupun penyelesaian krisis multidimensi yang masih melilit bangsa. Karena kita berbicara mengenai penghargaan Nobel, jadi mari kita fokuskan pembicaraan mengenai struktur penunjang untuk hal tersebut.

Dari yang penulis amati, baca, dengar dan lihat, walaupun sudah ada usaha serius untuk mencetak peraih Nobel, menurut penulis masih sulit bagi bangsa kita mencetak ilmuwan-ilmuwan sekaliber Nobel Laurates. Dan ini karena empat hal berikut:

1. Minat baca yang sangat minim.
Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Bangsa kita kurang suka membaca. Lain dengan bangsa Jepang, contohnya. Setiap buku yang terbit di AS, terjemahannya dalam bahasa Jepang pasti akan muncul dalam waktu dekat. Buku apa saja. Penerbit-penerbit di sana tentu sangat senang menerjemahkan buku, karena pasarnya ada. Bangsa Jepang doyan membaca dan membaca hampir di mana saja. Dengan banyak membaca, biasanya seorang jadi senang menulis, terstimulasi pikirannya untuk mengerjakan suatu riset dan mampu mengikuti perkembangan sains dan teknologi yang maju dengan pesat. Bukan mustahil, dari senang membaca dan juga menulis ini, bangsa kita juga bisa menelurkan karya sastra yang spektakular (dan tentunya Nobel di bidang literatur) sebagai efek sampingan.

2. Kurangnya dana
Riset, studi, atau eksperimen perlu dana. Untuk bersaing dengan negara-negara maju yang sudah punya berbagai fasilitas senilai milyaran dolar AS, tentu saja kita akan terseok-seok. Kecuali riset di bidang matematika. Ini tidak perlu dana besar. Cukup otak, pensil, kertas dan stamina yang mantap. Ambil contoh Andrew Wiles. Dia matematikawan Inggris yang berhasil membuktikan Teorema Fermat yang terakhir (Fermat's Last Theorem). Dan itu dia lakukan di loteng rumahnya di New Jersey bertahun-tahun dan sendiri. Karena matematika merupakan bahasa sains, maka riset untuk teori fisika, kimia atau biologi yang lazimnya menggunakan matematika tingkat tinggi dapat dilakukan dengan metode yang sama.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah melakukan riset di luar negeri. Banyak mahasiswa kita yang kuliah di manca negara. Sayangnya mereka sering pulang ke tanah air setelah tamat dan mandeg meneruskan riset yang telah mereka mulai di tempat asal studi. Kita harusnya jangan sungkan dan setengah-setengah membangun jaringan intelektual di manca negara. Hapuskan paradigma nasionalisme yang sempit yang mengatakan bahwa membangun bangsa harus berada di tanah air. Jangan takut dengan fenomena "brain drain". Bangsa-bangsa negara berkembang seperti Cina dan India telah melakukan hal yang sama sejak dulu dan kita bisa lihat bagaimana mereka sekarang. Bangsa India sekarang terkenal dengan sumber daya manusianya di bidang teknologi informasi dan bangsa Cina baru-baru saja berhasil mengirim seorang astronot mengorbit bumi, menjadikannya bangsa ketiga di dunia sebagai bangsa penjelajah ruang angkasa.

3. Belum memasyarakatnya iptek dan profesi-profesi di bidang iptek
Penulis ingin mengambil kasus studi bangsa India. India yang berpenduduk banyak dan masih tergolong negara berkembang itu bagusnya tidak miskin sumber daya manusia terutama di bidang iptek. Dan ini juga ditopang oleh apresiasi yang cukup besar dari masyakatnya. Sepertinya tidak ada orang tua di India yang tidak ingin anaknya menjadi dokter atau insinyur/ilmuwan. Hal ini membuahkan hasil yang nyata. Banyak ilmuwan dan insinyur India yang telah lama menimba ilmu dan bekerja di perantauan akhirnya kembali ke India untuk membangun pusat teknologi di sana. Sekarang ini Bangalore terkenal sebagai Sillicon Valley-nya India. Dan ketika General Electric, perusahaan multinasional yang berkedudukan di AS memutuskan untuk membangun tiga pusat Research & Development baru di luar AS, kota Bangalore di India menjadi salah satu pilihan yang memikat.

4. Penghargaan Nobel itu sendiri
Walau merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan luar biasa besar jika ada putra/putri bangsa yang dapat mendapatkan penghargaan Nobel, perlu diingat bahwa penghargaan Nobel jangan dijadikan tujuan akhir suatu usaha. Menjadikannya sebagai suatu bentuk motivasi mungkin perlu dan baik. Dr. Peter Mansfield, salah satu penerima Nobel Kedokteran tahun ini pun mengakui hal ini ketika diwawancara BBC[3]. Riset dia membuahkan MRI scanners, suatu alat yang sangat penting kegunaannya melihat organ tubuh dan banyak dipakai di rumah sakit-rumah sakit di seluruh dunia. Katanya, "It is, I suppose, every scientist's hope that one day they may be singled out for such an honour but I must say that in my case I did think about it a few years ago, but then dismissed it." (Mungkin memang benar bahwa setiap ilmuwan mengharapkan penghargaan ini, tetapi untuk kasus saya, perlu saya bilang kalau saya memang sempat memikirkannya beberapa tahun yang lalu, tapi lalu melupakannya). Jadi suatu riset yang dilakukan, studi yang dijalani, eksperimen yang dikerjakan, hendaknya untuk kemasyalahatan dan kemakmuran umat manusia. Kita serahkan kepada para kolega kita untuk menominasikannya dan komite-komite Yayasan Nobel untuk menilainya.

Penghargaan Nobel untuk Bangsa Indonesia? (Bagian I)


Marie Felicia baru berumur empat tahun, tapi dia sudah mengenal beberapa penerima Nobel Fisika. Bahkan dia punya lelucon yang belum tentu anak sebayanya dapat mengerti, "Di dunia ini ada tiga orang Marie yang pernah menerima hadiah Nobel. Yang pertama, Marie Curie, kemudian Marie (Maria) Goeppert Mayer. Yang ketiga? Ya, Marie Felicia, putrinya Yohanes Surya, he...he...he..."[1] Putri kedua Dr. Yohanes Surya ini sejak kecil telah mengenal bidang ilmu yang dicintai dan digeluti ayahnya. Bahkan kakaknya Chrisanthy Rebecca (umur 12) sudah bercita-cita menjadi fisikawati. Ayah kedua putri ini memang cukup terkenal di belantara pendidikan tanah air. Sejak dari waktu berkuliah pasca sarjana di AS, dia dan seorang rekannya telah membidani kelahiran Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) untuk ikut serta di ajang kompetisi prestisius Olimpiade Fisika Internasional (OFI). Sejak pertama kali ikut di tahun 1993, TOFI telah meraih beberapa medali, yang mencapai puncaknya di tahun 1999, ketika satu anggota TOFI, I Made Agus Wirawan berhasil meraih Medali Emas, emas pertama bagi TOFI. Ketika Indonesia diberi kehormatan untuk menjadi penyelenggara OFI ke-33 tahun 2002, TOFI berhasil menyabet tiga emas (dari total 20 yg diperebutkan), satu perak, dan satu perunggu.

Tapi cita-cita Pak Yo (sebutan akrab Dr. Yohanes Surya), tidak berhenti di sini. Pak Yo bermimpi mencetak peraih hadiah Nobel dari Indonesia. Strateginya adalah dengan mencetak sebanyak-banyaknya SDM berkualitas sebagai pemenang OFI dan memberikan peluang kepada mereka untuk kuliah di manca negara dengan beasiswa. Diharapkan mereka dapat mendalami ilmu fisika dan bekerja menjadi asisten para peraih Nobel Fisika sehingga cara berpikir mereka juga seperti para Nobel Laurates. Di tahun berapa pak Yo mencanangkan Indonesia menerima penghargaan Nobel? Tahun 2020, katanya lagi mantap.

Sebenarnya strategi pak Yo kurang lebih sejalan dengan resep yang diberikan oleh Burton Feldman, pengarang buku The Nobel Prize: A History of Genius, Controversy and Prestige. Setelah melakukan penelitian mengenai sejarah penghargaan Nobel dan para penerimanya, Feldman memberikan catatan berikut ini bagi siapa saja yang ingin meningkatkan peluangnya meraih penghargaan Nobel di bidang sains (Fisika, Kimia atau Kedokteran):[2]


1. Kalau bukan berasal dari ketiga negara berikut, maka datanglah atau berimigrasi ke sana: AS, Inggris dan Jerman. Peraih Nobel asal ketiga negara ini atau yang melakukan penelitian di ketiga negara ini masih mendominasi hadiah Nobel.
2. Menjadi seorang "jenius" tidak menjamin penghargaan Nobel. Banyak yang memiliki kejeniusan, seperti Dmitri Mendeleev untuk Kimia atau Robert Oppenheimer untuk Fisika tidak pernah mendapat hadiah Nobel. Sebaliknya banyak yang tidak jenius yang menang. 3.Kadang-kadang terlalu jenius juga susah. Lars Onsager tertunda 40 tahun sebelum akhirnya mendapat Nobel Kimia karena matematika yang dia pakai kelewat sulit untuk dimengerti para anggota Komite Nobel.
4. Kuliah di perguruan tinggi yang prestisius karena mahasiswa-mahasiswanya distimulasi dari dini untuk berlomba menuju Stockholm.
5. Melakukan riset di bidang-bidang yang penting bagi Komite Nobel. Untuk terjun dalam hal ini, maka Anda harus tahu di mana penelitian-penelitian kelas dunia dan riset-riset terdepan dan mutakhir dilakukan. Ini dapat dicapai dengan cara bekerja di laboratorium-laboratorium dan fakultas-fakultas universitas kelas kakap. Di tempat-tempat seperti ini, kolega-kolega anda biasanya dapat memberikan saran-saran atau bahkan petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada penyelesaian suatu masalah yang rumit. Tapi harap diingat, atmosfir di tempat seperti ini biasanya diselubungi persaingan yang super ketat.
5. Keuletan amat sangat dibutuhkan, begitu juga keuntungan (luck) seseorang.
6. Cari seorang pembimbing yang baik, yang mau mengajar, memberikan banyak inspirasi, menyarankan ide-ide dan yang memiliki jaringan luas dengan komunitas sains yang didalami (dalam hal ini juga memiliki akses ke Komite Nobel). Seseorang bukannya tidak mungkin untuk sukses tanpa mentor. Albert Einstein atau Robert Woodward contohnya. Tapi jika anda mempunyai pilihan, carilah mentor yang baik. Rutherford jadi mentor Niels Bohr, Bohr jadi mentornya Heisenberg. Semuanya peraih Nobel. James Watson sangat beruntung dapat Salvador Luria sebagai mentor, yang menjadikan dia bagian dari grup kecil biologi molekular yang memiliki pengaruh sangat besar. Tapi perlu diingat, seorang mentor juga dapat mengintimidasi Anda.
7. Kesemuanya ini belum tentu dapat membuahkan sebuah penghargaan Nobel. Perlu nominasi dari orang-orang lain dan juga perhatian dari Komite Nobel. Walaupun komite ini bekerja secara sangat rahasia, mereka biasanya mengikuti perkembangan para elit ilmuwan di dunia.
8. Untuk meraih penghargaan Nobel, biasanya seseorang juga telah mendapatkan hadiah-hadiah prestisius lainnya sebelumnya. Dengan begini, para anggota Komite Nobel melihat dan juga mengenal calon-calon penerima Nobel.
9. Yang terakhir, karena kita tidak tahu dengan pasti kapan Komite Nobel akan menganugerahkan hadiah ini, saran yang terakhir adalah: hidup berumur panjang. Tidak jarang penerima Nobel adalah gaek-gaek yang berumur 70an atau 80an.

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Kelima): Pakar-pakar Kimia Yang Tak Masuk Daftar Penerima


Ada dua pakar kimia yang terlewatkan oleh para juri komite Nobel Kimia. Satu telah disebutkan namanya: mereka gagal memberikan penghargaan kepada J.W. Gibbs (lihat Penghargaan Nobel Kimia - Bagian Pertama) sebelum dia meninggal. Beberapa tahun kemudian mereka melakukan hal yang sama terhadap kimiawan terkemuka Rusia Dmitri Mendeleev, penemu Tabel Periodik yang sangat penting kegunaannya hingga sekarang (red: lihat kolom Tabel Periodik).



Mendeleev mempublikasikan versi terakhir tabelnya di tahun 1871. Di tahun 1905 dan 1906 sebenarnya dia menjadi kandidat utama penerima Nobel. Tapi ada satu anggota komite Nobel Kimia yang berpendapat bahwa penemuan Mendeleev sudah terlalu lama dan sudah menjadi pengetahuan umum, dan juga bukan hal yang dapat menjadi daya tarik baru. Hal ini sangat janggal, karena Tabel Periodik Mendeleev merupakan dasar bagi banyak penemuan-penemuan baru (dan penghargaan Nobel) hingga sekarang. Akhirnya pada tahun 1906, pakar kimia anorganik Henri Moissan-lah yang memenangkan penghargaan ini dengan selisih satu suara. Rupanya Yayasan Nobel tidak melihat hal tersebut sebagai suatu hal yang ironis dan tidak adil, karena Moissan mendapat Nobel untuk penemuan unsur fluorine, elemen yang telah diprediksi keberadaannya oleh Mendeleev. Seperti yang telah diketahui, pada awalnya, Mendeleev telah mengosongkan beberapa unsur di tabelnya karena saat itu unsur-unsur tersebut belum ditemukan tapi diprediksikan keberadaannya.

Lucunya, Komite Nobel justru memberikan penghargaan Nobel kepada para ilmuwan yang menemukan unsur-unsur alamiah ini. Bukan hanya kepada Moissan, tapi juga Ramsey untuk gas-gas mulia lainnya, juga Marie Curie (Nobel keduanya di 1911) yang menemukan radium dan polonium. Penemu-penemu unsur-unsur alamiah berikutnya (renium di tahun 1925, protaktinium 1917, hahnium 1923) tidak mendapatkan penghargaan Nobel. Hanya dua kimiawan Amerika, Edwin McMillan dan Glenn Seaborg (Nobel 1951) yang menerima penghargaan Nobel untuk penemuan unsur-unsur buatan.


Kasus Mendeleev perlu mendapat perhatian khusus untuk memahami logika yang dipakai oleh komite Nobel Kimia. Jika ditelaah lebih lanjut, kenapa mereka mengatakan karya Mendeleev sudah terlalu lama, mengingat karya Adolf von Baeyer juga ditemukan sekitar tahun 1870-an? Para pendukung Baeyer beralasan bahwa Baeyer tetap mengembangkan penemuannya sampai ketika dia menerima Nobel di tahun 1905. Di tahun 1910, fisikawan Johannes van der Waals dijadikan Nobel Laureate untuk penelitiannya yang dikerjakan di tahun 1870-an juga. Jadi sewaktu dia menerima Nobel di tahun 1910, karyanya sudah berumur 40 tahun. Memang kebetulan dua tahun sebelumnya, fisikawan Belanda lainnya Kamerlingh Onnes berhasil menciptakan daya tarik baru bagi riset van der Waals melalui eksperimen-eksperimennya dengan suhu rendah. Tetapi jika argumen yang diajukan seperti itu, maka kita juga dapat membuat argumen yang sama mengenai karya Mendeleev setelah penemuan elektron oleh J.J. Thomson, karena penemuan itu menciptakan daya tarik baru bagi ilmuwan untuk mempelajari kembali Tabel Periodik Mendeleev.

Kasus Mendeleev ini juga mengangkat isu hangat mengenai soal berikut: siapa yang berhak dihargai, si penemu ide atau orang-orang yang mengeksploitasi ide tersebut? Susah memang menjawab pertanyaan ini dan sejarah Nobel Kimia adalah contoh yang tepat mengilustrasikan masalah ini.

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Keempat): Ikatan-ikatan Kimia


Kurang lengkap rasanya berbicara sejarah penghargaan Nobel di bidang Kimia tanpa menyinggung masalah teori ikatan kimia dan para penerima (dan juga yang tidak menerima) penghargaan Nobel pencetus teori-teori ini.


Joseph John Thomson menemukan elektron di tahun 1897. Penemuannya ini memaksa para kimiawan untuk memikir ulang teori ikatan kimia: bagaimana atom-atom mengikat diri satu sama lain untuk membentuk berbagai macam molekul. Teori inovatif yang pertama di abad ke-20 dicetuskan oleh pakar kimia fisik Gilbert N. Lewis di Berkeley. Lewis telah berguru kepada Ostwald dan Nernst. Di tahun 1902 dia mensketsa teori bagaimana atom-atom berbagi elektron, digambarkan sebagai dua kubus yang memiliki satu garis yang sama. Empat belas tahun kemudian dia menelurkan teori yang lengkap mengenai ikatan kovalen ini dengan notasi yang masih dipakai sampai sekarang. Sayangnya, Lewis tidak menindaklanjuti implikasi atas teorinya ini. Dia mengembangkannya hanya karena dia perlu penjelasan atas reaksi-reaksi kimia yang sedang diteliti. Dia juga merupakan salah satu kimiawan besar yang tidak pernah mendapat penghargaan Nobel.



Teori ikatan kovalen Lewis kemudian perlu direvisi karena kurang sejalan dengan perkembangan ilmu mekanika kuantum Heisenberg dan Schrödinger di tahun 1925-26. Teori Lewis sangat statis untuk menjelaskan dinamika fisika kuantum. Usaha-usaha untuk mengaplikasikan fisika kuantum ke teori kimia menarik perhatian banyak pakar. Walter Heitler dan Fritz London (keduanya juga tidak mendapat Nobel) mencoba pertama kali untuk menjelaskan ikatan kimia menggunakan spin elektron di tahun 1927. Baru di kemudian hari kimiawan Linus Pauling (red: lihat artikel profil Linus Pauling) dan John Clarke Slater (tidak mendapat Nobel) berhasil menemukan teori kimia kuantum yang pas dengan menggunakan karbon tetrahedron. Pakar kimia lain yang menggunakan teori yang sama untuk menjelaskan ikatan kimia adalah Robert Mulliken.


Teori Pauling tentang ikatan valensi (valence bonding) menggambarkan "gelombang" yang Schrödinger deskripsikan dalam persamaannya menjadi "awan-awan" elektron. Robert Mulliken mempunyai teori yang berbeda. Teorinya berdasarkan struktur molekul, bukan elektron, oleh karena itu dinamakan teori ikatan orbital molekul (molecular orbital bonding). Sekarang teori Mullikenlah yang menjadi dominan di ilmu kimia. Untuk buah karya mereka ini, Pauling mendapat Nobel tahun 1954 dan Mulliken tahun 1966. Mereka berdua terkenal sebagai teoritikawan terkemuka untuk bidang ikatan kimia kuantum. Lain halnya dengan bidang ilmu lain seperti fisika misalnya, di kimia teori-teori yang berlawanan dapat hidup berdampingan tanpa yang satu dianggap salah atau bahkan dikucilkan. Di pidato Nobelnya, Mulliken berkata bahwa walaupun teori dia dan teori Pauling tidak sependapat, kedua teori ini tetap berlaku dan yang satu menjadi alternatif bagi yang lainnya.

Mulliken juga pernah berkata, "Para fisikawan itu lebih peduli dengan medan-medan gaya dan gelombang-gelombang ketimbang sifat-sifat individu molekul-molekul dan zat-zat." Kata-kata ini tidak akan mungkin keluar dari seorang fisikawan, apalagi yang mendalami teori kuantum. Dia juga menambahkan, "Para kimiawan sangat cinta dengan molekul-molekul dan akan mengenal mereka satu per satu." Coba, mana ada fisikawan yang akan berucap kalau dia cinta elektron?

Roald Hoffman memformulasikan teori ikatan orbital molekul untuk kimia organik bersama Robert Woodward di tahun 1960-an. Dia lantas berbagi penghargaan Nobel Kimia di tahun 1981 dengan kimiawan Jepang Kenichi Fukui yang mengembangkan teori yang bersangkutan (frontier orbital theory) secara independen.

Sampai saat itu kira-kira gambaran yang muncul mengenai ikatan kimia adalah sebagai berikut: elektron-elektron mengelompokkan diri mengelilingi nukleus atom di orbital energi tertentu. Atom hidrogen contohnya memiliki satu orbital, sedangkan unsur yang lebih kompleks seperti karbon memiliki beberapa orbital. Jika elektron-elektron ini memenuhi orbital energi tertentu, maka atom tersebut sangat stabil. Jika orbital elektron tertentu tidak diisi, maka atom tersebut akan melepas atau mengambil elektron-elektron untuk memenuhi orbital-orbitalnya. Dari sinilah dasar pengertian ikatan kimia diambil. Sejak tahun 1970, banyak buku teks kimia yang sudah memberikan pengenalan dasar kepada mahasiswa-mahasiswa tahun pertama mengenai ikatan kimia kuantum sebagai dasar studi mereka.

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Ketiga): Pakar Kimia Organik dan Sintesis-sintesis Mereka



Sintesis adalah proses pembuatan senyawa di laboratorium yang hasilnya sama dengan senyawa yang ditemukan secara alamiah. Status seorang pakar kimia organik sering dihubungkan dengan kemampuannya mensintesis atau menganalisis berbagai senyawa. Di tahun 1950-an dan 1960-an, sintesis organik mendapatkan kesuksesan tiada tara. Banyak Nobel yang dianugerahkan untuk keberhasilan sintesis beberapa senyawa penting.


Di tahun 1828, Friedrich Wöhler mensintesis urea dengan cara memanaskan ammonium sianat; senyawa yang dia hasilkan sama persis dengan urea yang ditemukan di alam.

Cerita di balik keberhasilan Wöhler ini sangat menarik. Wöhler adalah salah satu murid kimiawan berkebangsaan Swedia, Jöns Jakob Berzelius, yang terkenal dengan simbol-simbol kimianya, daftar akurat pertamanya mengenai massa atom-atom, dan eksperimen-eksperimennya mengkonfirmasi teori Dalton bahwa setiap unsur memiliki atom-atom yang unik. Dia pula yang menciptakan istilah "katalis", "protein" dan "isomer". Berzelius percaya bahwa semua zat terdiri dari zat-zat hidup dan non-hidup, dan tidak ada sesuatu yang menjembatani keduanya. Dia juga percaya kehidupan tidak dapat muncul dari sesuatu yang tidak hidup. Berzelius pula yang menemukan istilah zat organik dan zat anorganik (zat-zat organik mudah terbakar, sedangkan zat-zat anorganik tidak). Namun sintesis Wöhler membuktikan kekeliruan Berzelius: urea yang disintesis Wöhler masuk kategori zat organik, sedangkan bahan yang dia gunakan untuk pensintesisannya masuk kategori anorganik. Pada awalnya Berzelius tidak mau menerima kenyataan yang dilakukan oleh muridnya. Tetapi semakin banyak kimiawan yang akhirnya dapat membuat senyawa hidup dari zat-zat "tak hidup", misalnya Kolbe yang memproduksi asam asetat dari bahan-bahan alamiahnya di tahun 1845.

Di tahun 1945, Frederick Sanger (Nobel tahun 1958 dan yang kedua kalinya di tahun 1980) memutuskan untuk mensintesis hormon insulin untuk pertama kalinya. Hormon ini telah berhasil diisolasikan di tahun 1922, tetapi strukturnya tetap merupakan suatu misteri. Setelah 8 tahun bekerja keras siang malam, Sanger akhirnya berhasil menemukan analisis lengkap molekul protein yang penting ini. Urutan penyusunannya memerlukan ketepatan. Satu asam amino saja yang tidak berurut, hasilnya menjadi protein yang berbeda sama sekali. Nobelnya yang kedua diraih untuk penemuannya tentang struktur urutan dasar kromosom suatu virus.

Sebenarnya untuk mensintesis suatu senyawa, kita bisa merunut secara terbalik, menganalisis bagaimana senyawa itu terbentuk. Hal ini dapat mudah dilakukan untuk senyawa yang tidak rumit, tetapi dapat menjadi pekerjaan detektif yang pelik jika senyawa yang kita pelajari sangat kompleks. Untuk penemuannya yang kedua, Sanger memotong asam-asam amino yang membentuk rantai asam nukleotida yang dia teliti guna mempelajari di mana mata-mata rantai tersebut berawal dan berakhir. Dia juga menggunakan bahan pereaksi (reagents) untuk menyuling zat-zat yang tak diinginkan, menggunakan kromatografi di mana elemen-elemen dipisahkan menurut warna mereka yang berbeda-beda, dan memakai enzim yang dapat memilih porsi tertentu senyawa yang dipelajari. Intinya, Sanger menggunakan semua teknik penelitian kimia organik yang diketahui saat itu dan bahkan beberapa metode lainnya.

Setelah semua komponen suatu senyawa ditemukan, pakar kimia masih perlu memikirkan bentuk fisik senyawa tersebut. Ini perlu dilakukan karena banyak senyawa yang memiliki formula yang sama di atas kertas tapi tersusun berbeda di ruang 3 dimensi (isomer). Beberapa senyawa bahkan memiliki ribuan atom yang kerap berputar balik, menikuk, melentur, atau melengkung. Dalam hal ini teknik kristalografi sinar X (red: lihat artikel "Melihat Wajah Molekul dengan Sinar X") dapat membantu kimiawan organik merekonstruksi struktur atom yang diteliti (terutama struktur kristal). Kimiawan Dorothy Hodgkin merupakan Nobel Laureate tahun 1964 untuk keberhasilannya menganalisis struktur vitamin B12 menggunakan kristalografi sinar X.

Dua tahun sebelumnya, penghargaan Nobel dianugerahkan kepada dua kimiawan Max Perutz dan John Kendrew. Perutz berhasil menganalisis hemoglobin di akhir tahun 1930-an dan sepuluh tahun kemudian Kendrew menganalisis protein mioglobin. Keduanya juga membuat model 3 dimensi molekul yang mereka teliti.

Di tahun 1926, James B. Sumner mengkristalisasi enzim untuk pertama kalinya dan membuktikan bahwa enzim-enzim adalah protein, suatu hal yang bahkan kimiawan terkemuka Willstatter telah sangkal. Di tahun 1935 Wendell Stanley dan John H. Northrop berhasil mengkristalisasi virus, benar-benar suatu keberhasilan cemerlang, karena sedikit sekali yang diketahui mengenai virus saat itu. Ketiga kimiawan di atas berbagi Nobel tahun 1946.

Vitamin C pertama kali disintesis oleh Waler Haworth dari Inggris (Nobel 1937). Kimiawan Swiss Karrer mensintesis vitamin A di tahun 1930 dan B2 di tahun 1935. Richard Kuhn (Nobel 1938) secara independen menunjukkan karoten adalah zat pendahulu vitamin A, mensintesis vitamin B2 dan menjelaskan perannya dalam pernafasan.

Di tahun 1953, kimiawan Amerika Vincent du Vigneaud (Nobel 1955) mensintesis hormon protein (oxytocin) untuk pertama kalinya. Dia menemukan bahwa senyawa tersebut memiliki delapan asam amino dan menjalin asam-asam amino tersebut dalam urutan rantaian kompleks yang dia teorikan dahulu sebelumnya dan berhasil dengan sukses.


Banyak yang mengakui pensintesis yang sangat brilian yang pernah hidup adalah Robert B. Woodward (Nobel 1965). Kecerdasannya memang sejak dari awal telah kelihatan. Woodward diterima di MIT pada waktu anak seumur dia masih bersekolah di SMU. Dia akhirnya memilih untuk keluar (drop out) dengan alasan dia bisa belajar sendiri lebih cepat. Tapi akhirnya dia diterima kembali dan diberi keleluasaan untuk menciptakan sendiri kurikulum yang ingin dia pelajari. Pada umur 20 tahun dia sudah mendapat gelar doktor. Setahun kemudian sudah menjadi profesor di Harvard. Daftar senyawa yang dia telah sintesis sampai sekarang belum terpecahkan: quinine, kolesterol, strychnine, asam lysergic, ergonovine, ellipticine, colchinine, aureomycin, terramycin dan terakhir chlorophyll.

Kimiawan Amerika Bruce Merrifield berhasil menemukan cara mensintesis peptida secara otomatis. Di tahun 1969 dia mengulang sintesis ribonuclease (yang telah dikerjakan oleh William Stein dan Stanford Moore, Nobel 1972). Dengan menggunakan metode yang dia temukan, Merrifield mensintesis enzim kompleks ini (memerlukan 369 jumlah reaksi kimia dan 11931 langkah) dalam waktu hanya beberapa minggu. Padahal duet Stein dan Moore perlu waktu 30 tahun lama waktu penelitian. Herbert Hauptman dan Jerome Karle juga menemukan cara baru yang cepat untuk menganalisis struktur molekul. Pada awalnya penemuan mereka diabaikan karena terlalu matematis, tetapi sekarang banyak dipakai untuk menganalisis dengan cepat struktur molekular baru untuk pembuatan obat-obat baru. Mereka mendapatkan Nobel di tahun 1985.

Ellias Corey, Laureate Nobel Kimia tahun 1990 memudahkan proses sintesis ini dengan proses yang dinamakan "retrosynthesis" atau sintesis terbalik . Dia menguraikan senyawa setahap demi setahap, memastikan bahwa dia bisa membalikkan proses ini dalam setiap langkah. Dengan begini dia menemukan aturan untuk menguraikan dan menyatukan kembali senyawa. Memakai bantuan komputer, proses ini mempercepat sintesis banyak senyawa dan banyak digunakan oleh kimiawan hingga kini.



Penggunaan komputer untuk membuat peta reaksi-reaksi kimia dikembangkan oleh dua penerima Nobel tahun 1998, Walter Kohn dan John Pople di tahun 1960-an. Teori fungsi densitas (density-functional theory) Kohn berfokus pada penemuan letak rata-rata elektron dalam suatu molekul, ketimbang menemukannya satu per satu. Metode Pople juga menggunakan komputer untuk menganalisis sifat-sifat dan bentuk molekul. Program yang dia tulis sangat populer.

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Kedua): 1920-1953


Dari tahun 1920 sampai 1940, para juri komite Nobel Kimia memberikan penghargaan Nobel untuk cabang ilmu biokimia yang sarat dengan penemuan hormon-hormon dan enzim-enzim. Padahal pada waktu yang bersamaan hal yang lebih fundamental, teori ikatan kimia, sedang mengalami revolusi sejalan dengan revolusi fisika kuantum. Namun karena teori ini masih penuh dengan hal-hal yang membingungkan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, komite Nobel Kimia memandang revolusi tersebut dengan sebelah mata dan memberikan penghargaan Nobel untuk penemuan-penemuan lain yang dianggap lebih penting.

Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai penemuan hormon-hormon dan enzim-enzim ini. Enzim merupakan protein yang sangat dibutuhkan untuk proses biologi dalam tubuh manusia. Sedangkan hormon mengaktifkan reaksi-reaksi yang spesifik berhubungan dengan pertumbuhan badan dan seksual. Pada tahun 1927, 1928, 1929, dan 1930, penghargaan Nobel diberikan berturut-turut untuk penelitian mengenai asam bile, steroids, dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengan enzim. Pada tahun 1937 dan 1938, sekali lagi secara berturut-turut penghargaan Nobel diberikan untuk riset mengenai vitamin yang sering berperan mengaktifkan enzim-enzim. Riset-riset mengenai hormon pada awalnya banyak dianugerahi Nobel Kimia. Untuk tahun-tahun berikutnya para peneliti hormon mendapat penghargaan Nobel Kedokteran.

Antara tahun 1901 dan 1930, enam dari sembilan penghargaan Nobel untuk cabang ilmu kimia fisik dianugerahkan untuk riset mengenai isotop. Isotop adalah unsur yang memiliki jumlah netron yang berbeda dari yang biasanya ditemukan secara alamiah, sehingga isotop tersebut memiliki sifat yang tidak sama dengan unsur dasarnya. Contohnya hidrogen yang memiliki dua isotop: deuterium dan tritium. Hidrogen sendiri memiliki satu proton dan nol netron di inti atomnya (nukleus), deuterium memiliki satu proton dan satu netron. Sedangkan tritium memiliki satu proton dan dua netron. Ketiga unsur ini memiliki satu elektron yang mengorbit nukleusnya. Deuterium lebih stabil dibandingkan hidrogen dan tritium sangat radiaoktif. Tritium memancarkan partikel-partikel beta dan memiliki waktu paruh 12.3 tahun.

Pada tahun 1921 penghargaan Nobel dianugerahkan kepada Frederick Soddy (rekan sekerja Ernest Rutherford) yang berhasil menemukan isotop radioaktif di tahun 1913. Francis Aston mendapat Nobel tahun berikutnya (1922) untuk penemuan isotop-isotop yang tidak radioaktif pada tahun 1919 (dia juga menemukan spektroskopi massa). Harold Urey menerima Nobel tahun 1934 untuk penemuan isotop hidrogen (deuterium). Kepada pasangan Joliot-Curie Nobel Kimia dianugerahkan di tahun 1935 atas keberhasilan mereka membuat isotop-isotop baru di laboratorium (isotop-isotop ini tidak ditemukan secara alamiah). George de Hevesy menang di tahun 1943 untuk penemuan teknik penelusuran isotop (isotope tracer) yang menggunakan radioaktivitas untuk menelusuri jejak-jejak reaksi kimia.

Gambar : Isotope separator

Selain isotope tracer, beberapa alat-alat penelitian kimia lainnya muncul pada saat yang bersamaan dan masih digunakan sampai sekarang. Metode pemisahan zat dengan menggunakan putaran cepat (ultracentrifuge) berhasil memenangkan penghargaan Nobel tahun 1926 yang diraih oleh Theodor Svedberg. Arne Tiselius (Nobel 1948) memperbaiki metode ini untuk memisahkan globulin atau protein serum yang berperan dalam pengembangan kromatografi. Kedua ilmuwan tersebut berkebangsaan Swedia. Metode Tiselius ini sebenarnya telah ditemukan ilmuwan Rusia Mikhail Tsvett pada tahun 1906. Tapi Tsvett menulis dalam bahasa Rusia dan karya tulisnya tidak dikenal di luar. Jadi Tsvett tidak pernah mendapat Nobel. Pada tahun 1944, A.J.P. Martin dan R.L.M Synge, keduanya dari Inggris, memperbaiki lebih lanjut metode ini dan mereka mendapat Nobel di tahun 1952. Dan ketika Richard Zsigmondy dari Jerman menemukan mikroskop elektron pada tahun 1903, 22 tahun kemudian dia dianugerahkan Nobel Kimia untuk penemuannya.


Gambar : Mikroskop Elektron

Alat-alat penelitian yang disebut di atas sangat berguna untuk kemajuan ilmu kimia. Tanpa alat-alat tersebut, sulit untuk membayangkan kepesatan kemajuan ilmu kimia seperti yang kita ketahui sekarang ini. Penemuan satu instrumen bahkan dapat mendukung suatu teori atau menunjang perkembangan suatu hipotesis yang menghasilkan hadiah Nobel juga. Contohnya, di tahun 1920-an kimiawan Jerman Hermann Staudinger mengusulkan ide bahwa ukuran molekul-molekul dapat menjadi sebesar apa pun yang kita bayangkan (contohnya plastik dan polimer). Ide ini mulanya kurang mendapat dukungan saat itu karena tidak pernah ditemukan molekul sebesar polimer. Ultracentrifuge yang ditemukan Svedberg akhirnya berhasil mengkonfirmasi ide Staudinger, yang kemudian mendapat penghargaan Nobel Kimia tahun 1953.

Satu lagi alat penelitian yang sangat berguna ditemukan oleh Fritz Pregl dari Austria. Sampai sekitar tahun 1900, periset kimia memerlukan setidaknya 0.20 gram zat untuk dianalisa. Berton-ton bahan perlu diproses untuk menghasilkan kuantitas yang diperlukan ini. Pergl menemukan timbangan yang dapat menimbang zat sekecil 3 miligram. Dia mendapat Nobel tahun 1923.

Penghargaan Nobel Kimia (Bagian Pertama): 1901-1920


Tanggal 8 Oktober 2003 lalu, Yayasan Nobel mengumumkan dua pemenang Nobel Kimia: Peter Agre dan Roderick MacKinnon. Keduanya ilmuwan Amerika. Hasil penelitian mereka tentang saluran pada sel tubuh manusia dinilai sangat bermanfaat untuk memahami terjadinya berbagai macam penyakit.

Penghargaan Nobel Kimia yang umurnya sudah seratus tahun lebih ini sarat dengan penemuan-penemuan penting lainnya. Artikel berikut memberikan sedikit gambaran tentang sejarah penghargaan Nobel Kimia: para penerimanya, penemuan-penemuan mereka, juga cerita dan kontroversi di balik pemberian penghargaan yang sangat berwibawa ini.

Dalam kurun waktu 15 tahun pertama sejarah Nobel Kimia, cabang ilmu kimia organik (organic chemistry) hanya mendapatkan penghargaan enam kali. Padahal bidang ini merupakan cabang ilmu kimia yang terkemuka dan terbesar saat itu. Sebaliknya, kimia fisik (physical chemistry), cabang ilmu yang baru saja berkembang, justru berhasil mendapatkan lebih banyak penghargaan Nobel. Salah satu alasannya adalah pakar kimia fisik memegang kekuasaan yang sangat menentukan di Komite Nobel Kimia di Stockholm.

Penghargaan Nobel Kimia pertama dianugerahkan kepada kimiawan asal Belanda Jacobus van't Hoff. Penghargaan ini dijadikan sebagai simbol penobatan van't Hoff sebagai pakar kimia fisik ulung pada masanya. Sekalian juga melambungkan cabang ilmu kimia fisik menjadi cabang ilmu yang terpenting di awal abad ke-20. Pemberian penghargaan Nobel Kimia pertama ke seorang kimiawan fisik merupakan hasil silang pendapat yang terjadi di dalam tubuh Komite Nobel Kimia yang saat itu terdiri dari orang-orang berikut (angka di dalam kurung adalah tahun mereka duduk di Komite):


P.T. Cleve (1900-1905)
Profesor Kimia, Universitas Uppsala
P. Klason (1900-1925)
Profesor Kimia dan Teknologi Kimia, Institut Teknologi Royal (Royal Institute of Technology)
O. Peterson (1900-1912)
Profesor Kimia, Stockholm Hogskola
H.G. Soderbaum (1900-1931)
Profesor Kimia Agrikultur, Academy of Agriculture
O. Widman (1905-1928)
Profesor Kimia, Universitas Uppsala
O. Hammarsten (1905-1926)
Profesor Kimia Fisiologi, Universitas Uppsala (menggantikan Cleve).
A.G. Ekstrand (1913-1924)
Pegawai sipil, insinyur (menggantikan Peterson)


Para kimiawan di atas merupakan kimiawan yang cukup berhasil di bidang mereka dan beberapa orang di antaranya sangat berpengaruh. Mereka memiliki peran penting dalam menentukan penerima penghargaan Nobel Kimia hingga tahun 1930. Walaupun begitu, ada satu ilmuwan lain yang paling berpengaruh, Svante Arrhenius. Dia justru tidak duduk di dalam Komite Nobel Kimia. Arrhenius adalah ilmuwan terkemuka Swedia dan salah satu ahli kimia fisik yang termasyhur di dunia saat itu. Dia duduk di Komite Fisika, tetapi berhak menominasi penerima penghargaan Nobel Kimia. Arrhenius menjadi terkenal gara-gara teori elektrolitas yang dia kembangkan pertama kali di disertasi doktornya pada tahun 1884. Universitas Uppsala tempat dia menimba ilmu hampir saja menolak disertasi ini dan Arrhenius sempat sakit hati. Bersama Peterson di kemudian hari mereka mendirikan perguruan tinggi saingan, Hogskola, di Stockholm (red: Hogskola ini semacam Institut Teknologi, seperti ITB di Bandung atau ITS di Surabaya).

Karena pengaruh Arrheniuslah dua dari tiga penerima penghargaan Nobel Kimia yang pertama adalah pakar kimia fisik. Kontribusi yang paling besar yang diberikan van't Hoff di tahun 1884 adalah penjelasannya atas reaksi-reaksi kimia pada larutan dengan memakai analogi hukum gas fisika. Sayangnya, garam, asam, dan alkali tidak memiliki sifat seperti yang van't Hoff prediksikan. Di sini muncullah Arrhenius yang memberikan penjelasan tambahan. Ketika garam, asam, dan alkali dilarutkan di dalam larutan lemah, mereka berurai dan memiliki sifat-sifat listrik dan kimia secara bersamaan. Senyawa-senyawa tersebut berubah menjadi ion-ion yang bermuatan positif dan negatif. Penemuan ini cukup menghebohkan. Hanya segelintir kimiawan yang mau menerima teori yang disodorkan Arrhenius. Tetapi semua ini berubah setelah J.J. Thomson menemukan elektron, partikel bermuatan negatif di dalam atom. Walau demikian, teori Arrhenius terbatas hanya untuk larutan lemah. Perlu waktu 40 tahun lagi sampai akhirnya dua ilmuwan, Peter Debye dan Erich Huckel di tahun 1923 menjelaskan bagaimana larutan keras bereaksi.


Yang cukup ironis adalah penerima penghargaan Nobel Kimia tahun 1908. Penghargaan ini diberikan kepada fisikawan Ernest Rutherford (seorang fisikawan yang menganggap remeh para kimiawan) untuk penemuannya mengenai radioaktivitas. Transmutasi alamiah unsur berat seperti uranium menjadi unsur-unsur lain yang lebih ringan sampai menjadi timah benar-benar mengubah pengertian manusia tentang kimia. Dengan mengubah nomor atom suatu unsur baik secara alamiah maupun campur tangan manusia, unsur tersebut berubah menjadi unsur yang lain.

Di tahun berikutnya, Wilhelm Ostwald dengan campur tangan Arrhenius akhirnya mendapat Nobel. Dia hampir saja tidak mendapat Nobel karena tidak percaya akan bentuk fisik atom. Karena sikapnya ini, penghargaan Nobel Kimia tahun 1907 diberikan ke Eduard Buchaner. Sikapnya berubah setelah penemuan Rutherford. Selanjutnya, Marie Curie menang di tahun 1911 untuk penemuan dua elemen baru yaitu polonium dan radium.

Penghargaan Nobel pada tahun 1916 dan 1917 dibatalkan karena berlangsungnya PD I. Setahun sebelumnya, di tahun 1915, penghargaan Nobel dianugerahkan kepada Richard Willstatter, kimiawan organik terkemuka setelah Emil Fischer untuk karyanya mengenai fotosintesis (bagaimana cahaya dapat menimbulkan reaksi kimia). Willstatter menganalisis klorofil dan menemukan bahwa secara kimia pigmen tumbuhan tersebut sama dengan hemoglobin. Baru di kemudian hari, di tahun 1940-an, Melvin Kelvin dapat menjelaskan reaksi fotosintesis dalam level molekular. Antara tahun 1982 dan 1985, penjelasan yang lebih komprehensif diberikan oleh Hartmut Michel, Johann Deisenhofer dan Robert Huber yang berbagi Penghargaan Nobel tahun 1988.


Setelah PD I usai, Nobel Kimia kembali diberikan pada tahun 1918. Penerimanya adalah kimiawan anorganik Fritz Haber. Penghargaan ini mungkin yang paling kontroversial dalam sejarah Nobel Kimia. Proses ammonia yang ditemukan Haber memang berguna bagi agrikultur untuk pembuatan pupuk. Tapi prosesnya ini juga digunakan untuk membuat gas beracun semasa perang. Sejarawan Elizabeth Crawford menunjukkan bahwa Komite Nobel sebenarnya tidak akan memberikan penghargaan Nobel ke Haber jika saja ada dukungan internasional untuk kandidat yang lain.

Penghargaan Nobel tahun 1920 merupakan puncak perang pribadi antara si penerimanya, Walther Nernst, dan Svante Arrhenius. Nernst menemukan teorema panas (kadang-kadang disebut sebagai hukum termodinamika ketiga). Penemuannya menggunakan fisika kuantum dan statistik di luar pemahaman van't Hoff dan Arrhenius. Maka, walaupun Nernst mendapat nominasi paling banyak dari tahun 1907 dan 1914, penghargaan Nobel untuk dia selalu ditunda-tunda. Arrheniuslah yang menjadi penghalangnya. Dulunya mereka teman dekat, tapi lantas menjadi antagonis. Nernst jauh lebih pintar dari Arrhenius, tapi Arrhenius memiliki suara menentukan di Komite Nobel.


Ketika van't Hoff menerima penghargaan pertama Nobel Kimia, penganugerahan tersebut mengabaikan hasil karya Josiah Willard Gibbs, ahli kimia fisik asal Amerika yang mengembangkan termodinamika kimia antara tahun 1876 dan 1878. Sayangnya, Gibbs menerbitkan karyanya di jurnal yang tak terkenal walau Gibbs sempat dianugerahkan Medal Copley dari Royal Society di Inggris. Dia juga tidak pernah mendapat nominasi dari van't Hoff ataupun Arrhenius yang jelas-jelas mengetahui hasil penelitian Gibbs dari terjemahan yang dikerjakan oleh Ostwald. Tapi karena van't Hoff sedang naik daun dan mendapat dukungan penuh dari Arrhenius, dialah yang mendapatkan penghargaan Nobel Kimia pertama. Dari sejarah awalnya sudah terlihat bagaimana penghargaan Nobel Kimia sudah sarat dengan permainan politik dan favorit.

Penghargaan Nobel yang kedua diraih oleh Emil Fischer, kimiawan organik terkemuka saat itu. Oleh Yayasan Nobel penghargaan ini dianugerahkan untuk penelitiannya tentang purines dan gula. Tapi sebenarnya dia juga meneliti hidrokarbon, dan dengan usaha sendiri mendirikan cabang ilmu kimia protein dan asam amino. Karena protein sangat penting dalam bidang biologi, Fischer dapat disebut sebagai pendiri biokimia modern. Dia meninggal dunia sangat tragis dengan cara membunuh diri setelah ketiga anaknya meninggal dalam Perang Dunia I (PD I).

Penghargaan yang ketiga diberikan kepada Arrhenius. Sebenarnya dia telah dinominasikan sejak tahun pertama penghargaan Nobel diberikan, tapi ditunda secara sengaja karena Komite Nobel tidak ingin membuat reputasi internasional yang jelek dengan memberikan penghargaan Nobel yang pertama kepada seorang berkebangsaan Swedia.

Penghargaan Nobel tahun 1904 diberikan kepada William Ramsay untuk penemuan beberapa gas mulia: argon, krypton, dan xenon. Tahun berikutnya kimiawan Jerman Adolf von Baeyer menang pada umur 72 tahun untuk karyanya mengenai sintesis bahan pewarna yang dikerjakannya 30 tahun sebelumnya. Tahun 1910, Otto Wallach menjadi Nobel Laureate karena berhasil mengklasifikasikan ratusan terpenes setengah abad sebelumnya. Terpenes merupakan senyawa kompleks pertama yang benar-benar berhasil dianalisis secara tuntas.

Penghargaan Nobel yang diberikan di tahun-tahun yang lain menghormati penemuan-penemuan yang cukup penting walau tidak sehebat yang disebut di atas. Tahun 1906 Moissan mendapat Nobel Kimia setelah berhasil mengisolasi fluorine di tahun 1886. Dua penerima Nobel Kimia di tahun 1912 adalah kimiawan asal Perancis, Grignard dan Sabatier yang menemukan bahan pereaksi (reagents) yang bermanfaat untuk analisis organik. Tahun 1914, T.W. Richards dari Harvard memenangkan Nobel untuk karyanya menemukan metode pengukuran massa atom yang tepat.