
Mari kita telaah lebih lanjut kemungkinan bangsa Indonesia mencetak peraih Nobel di bidang sains. Arah ke sana sudah ada, walau belum dapat dikatakan merupakan program nasional. Selain TOFI, kita juga memiliki TOKI (Komputer), TOKIMI (Kimia), TOBI (Biologi) dan TOMI (Matematika). Dari kelima tim nasional tersebut, tiga yang terakhir sepertinya belum terbina, teroganisir rapi atau bahkan terkenal seperti halnya TOFI atau TOKI. Karena Nobel Komputer tidak ada, berarti dapat dikatakan baru ilmu fisika (di antara cabang-cabang ilmu hadiah Nobel) yang mendapat perhatian serius di tanah air. Bisa jadi juga karena TOFI yang telah paling lama berkecimpung di ajang olimpiade internasional. Kalau TOBI baru ikut Olimpiade Biologi Internasional sejak tahun 2000 dan TOKIMI berkecimpung sejak tahun 1997, TOFI sudah terjun sejak tahun 1993.
Terlepas dari ketidakseragaman pelatihan dan pembinaan murid-murid SMU yang ikut serta di tim-tim olimpiade tersebut, banyak hal dan struktur penunjang lain yang perlu diperhatikan. Dan penulis bukan berbicara soal sistem pemerintahan yang memang masih mencari jati diri, ataupun penyelesaian krisis multidimensi yang masih melilit bangsa. Karena kita berbicara mengenai penghargaan Nobel, jadi mari kita fokuskan pembicaraan mengenai struktur penunjang untuk hal tersebut.
Dari yang penulis amati, baca, dengar dan lihat, walaupun sudah ada usaha serius untuk mencetak peraih Nobel, menurut penulis masih sulit bagi bangsa kita mencetak ilmuwan-ilmuwan sekaliber Nobel Laurates. Dan ini karena empat hal berikut:
1. Minat baca yang sangat minim.
Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Bangsa kita kurang suka membaca. Lain dengan bangsa Jepang, contohnya. Setiap buku yang terbit di AS, terjemahannya dalam bahasa Jepang pasti akan muncul dalam waktu dekat. Buku apa saja. Penerbit-penerbit di sana tentu sangat senang menerjemahkan buku, karena pasarnya ada. Bangsa Jepang doyan membaca dan membaca hampir di mana saja. Dengan banyak membaca, biasanya seorang jadi senang menulis, terstimulasi pikirannya untuk mengerjakan suatu riset dan mampu mengikuti perkembangan sains dan teknologi yang maju dengan pesat. Bukan mustahil, dari senang membaca dan juga menulis ini, bangsa kita juga bisa menelurkan karya sastra yang spektakular (dan tentunya Nobel di bidang literatur) sebagai efek sampingan.
2. Kurangnya dana
Riset, studi, atau eksperimen perlu dana. Untuk bersaing dengan negara-negara maju yang sudah punya berbagai fasilitas senilai milyaran dolar AS, tentu saja kita akan terseok-seok. Kecuali riset di bidang matematika. Ini tidak perlu dana besar. Cukup otak, pensil, kertas dan stamina yang mantap. Ambil contoh Andrew Wiles. Dia matematikawan Inggris yang berhasil membuktikan Teorema Fermat yang terakhir (Fermat's Last Theorem). Dan itu dia lakukan di loteng rumahnya di New Jersey bertahun-tahun dan sendiri. Karena matematika merupakan bahasa sains, maka riset untuk teori fisika, kimia atau biologi yang lazimnya menggunakan matematika tingkat tinggi dapat dilakukan dengan metode yang sama.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah melakukan riset di luar negeri. Banyak mahasiswa kita yang kuliah di manca negara. Sayangnya mereka sering pulang ke tanah air setelah tamat dan mandeg meneruskan riset yang telah mereka mulai di tempat asal studi. Kita harusnya jangan sungkan dan setengah-setengah membangun jaringan intelektual di manca negara. Hapuskan paradigma nasionalisme yang sempit yang mengatakan bahwa membangun bangsa harus berada di tanah air. Jangan takut dengan fenomena "brain drain". Bangsa-bangsa negara berkembang seperti Cina dan India telah melakukan hal yang sama sejak dulu dan kita bisa lihat bagaimana mereka sekarang. Bangsa India sekarang terkenal dengan sumber daya manusianya di bidang teknologi informasi dan bangsa Cina baru-baru saja berhasil mengirim seorang astronot mengorbit bumi, menjadikannya bangsa ketiga di dunia sebagai bangsa penjelajah ruang angkasa.
3. Belum memasyarakatnya iptek dan profesi-profesi di bidang iptek
Penulis ingin mengambil kasus studi bangsa India. India yang berpenduduk banyak dan masih tergolong negara berkembang itu bagusnya tidak miskin sumber daya manusia terutama di bidang iptek. Dan ini juga ditopang oleh apresiasi yang cukup besar dari masyakatnya. Sepertinya tidak ada orang tua di India yang tidak ingin anaknya menjadi dokter atau insinyur/ilmuwan. Hal ini membuahkan hasil yang nyata. Banyak ilmuwan dan insinyur India yang telah lama menimba ilmu dan bekerja di perantauan akhirnya kembali ke India untuk membangun pusat teknologi di sana. Sekarang ini Bangalore terkenal sebagai Sillicon Valley-nya India. Dan ketika General Electric, perusahaan multinasional yang berkedudukan di AS memutuskan untuk membangun tiga pusat Research & Development baru di luar AS, kota Bangalore di India menjadi salah satu pilihan yang memikat.
4. Penghargaan Nobel itu sendiri
Walau merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan luar biasa besar jika ada putra/putri bangsa yang dapat mendapatkan penghargaan Nobel, perlu diingat bahwa penghargaan Nobel jangan dijadikan tujuan akhir suatu usaha. Menjadikannya sebagai suatu bentuk motivasi mungkin perlu dan baik. Dr. Peter Mansfield, salah satu penerima Nobel Kedokteran tahun ini pun mengakui hal ini ketika diwawancara BBC[3]. Riset dia membuahkan MRI scanners, suatu alat yang sangat penting kegunaannya melihat organ tubuh dan banyak dipakai di rumah sakit-rumah sakit di seluruh dunia. Katanya, "It is, I suppose, every scientist's hope that one day they may be singled out for such an honour but I must say that in my case I did think about it a few years ago, but then dismissed it." (Mungkin memang benar bahwa setiap ilmuwan mengharapkan penghargaan ini, tetapi untuk kasus saya, perlu saya bilang kalau saya memang sempat memikirkannya beberapa tahun yang lalu, tapi lalu melupakannya). Jadi suatu riset yang dilakukan, studi yang dijalani, eksperimen yang dikerjakan, hendaknya untuk kemasyalahatan dan kemakmuran umat manusia. Kita serahkan kepada para kolega kita untuk menominasikannya dan komite-komite Yayasan Nobel untuk menilainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar