Tampilkan postingan dengan label Kimia Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kimia Lingkungan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 April 2008

Menipisnya Lapisan Ozon



Coba tengok botol parfum atau hair spray yang Anda gunakan, apakah produk tersebut menggunakan propellant aerosol atau tidak? Jika ya, sebaiknya jangan Anda gunakan karena produk itu bisa merusak lapisan ozon.

Masalah menipisnya lapisan ozon di stratosfer sudah lama dibicarakan para ahli dan pemerhati lingkungan. Bahkan, berbagai kampanye lingkungan hidup yang berisi sosialisasi mengenai perlunya menjaga lapisan ozon telah pula dilakukan, tetapi masih banyak orang yang belum sadar betapa penting menjaga lapisan ozon itu agar tidak semakin parah.

Menurut Tri Widayati, dari Bidang Atmosfer Kementerian Lingkungan Hidup (LH), selain propellant berbagai senyawa kimia perusak ozon buatan manusia masih juga digunakan, seperti chloroflourcarbon (CFC), halon, metil bromida, dan lain-lain.

Selama bertahun-tahun, senyawa-senyawa kimia tersebut secara luas dipakai untuk berbagai keperluan, seperti sebagai media pendingin di lemari es, alat-alat pendingin ruangan (air conditioner/AC), sebagai blowing agent dalam proses pembuatan foam (busa), sebagai cairan pembersih (solvent), bahan aktif untuk pemadam kebakaran, bahan aktif untuk fumigasi di pergudangan, pra-pengapalan, dan karantina produk-produk pertanian dan kehutanan.

Senyawa-senyawa kimia tersebut dapat menyebabkan lapisan ozon tidak lagi mampu melindungi bumi terhadap radiasi ultra violet (UV) dari matahari. Setiap 10 persen penipisan lapisan ozon akan menyebabkan kenaikan radiasi UV sebesar 20 persen.

Kerusakan mata, meluasnya penyakit infeksi, dan peningkatan kasus kanker kulit adalah sebagian dari dampak yang akan timbul, jika lapisan ozon semakin menipis. Jika dibiarkan, radiasi UV tersebut juga akan menyebabkan vaksinasi terhadap sejumlah penyakit menjadi kurang efektif, dan akan memicu reaksi foto kimia yang menghasilkan asap beracun dan hujan asam.

Karena itu, kerusakan lapisan ozon tidak hanya membahayakan jiwa manusia, tetapi juga hewan, tanaman, dan bangunan.

Radiasi UV juga menurunkan kemampuan sejumlah organisme dalam menyerap CO2. CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca, sehingga menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat dan terjadilah pemanasan global.

Untuk mengantisipasi kian parahnya lapisan ozon, dunia internasional pun sepakat mengurangi konsumsi bahan perusak lapisan ozon (BPO) termasuk CFC secara bertahap. Kesepakatan internasional yang diadakan di Wina, Austria pada 22 Maret 1985 dan pertemuan di Montreal, Kanada pada 16 September 1987 itu kemudian menghasilkan Konvensi Wina dan Protokol Montreal.

Menurut Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan Kementerian LH, Dra Liana Bratasida, MS, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 23/1992 meratifikasi kedua perjanjian internasional tersebut.

"Dengan demikian, Indonesia berkewajiban ikut melaksanakan ketentuan dalam protokol tersebut. Yaitu mengembangkan program perlindungan lapisan ozon di tingkat nasional serta melaksanakan upaya penghapusan BPO secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku," jelasnya.

Dalam pelaksanaan Konvensi Wina dan Protokol Montreal, Indonesia memperoleh bantuan dana dan teknis dari Multilateral Fund (MLF). Liana menjelaskan bantuan MLF itu sebagian besar disalurkan ke berbagai perusahaan yang dalam proses produksinya masih menggunakan bahan-bahan perusak ozon untuk digantikan dengan bahan-bahan penggantinya yang tidak merusak ozon.

"Total jumlah industri yang sudah kami bantu sejak 1994-2002 adalah 210 perusahaan. Terbagi dalam industri foam, refrigerant, halon, aerosol, solvent, dan industri tembakau. Industri tersebut tersebar di beberapa wilayah Indonesia," kata dia.

Menurut Liana, pemerintah sendiri kini berupaya menggalakkan program insentif untuk mendukung industri yang bersedia menggunakan bahan-bahan pengganti yang tidak merusak ozon. Salah satunya dengan tidak memungut bayaran kepada setiap perusahaan yang bersedia menggunakan teknologi baru yang aman bagi ozon.

"Kami juga menyediakan tenaga ahli yang membantu mengoperasikan alat-alat tadi sampai mereka bisa mengoperasikan alat itu sendiri, semua kami berikan secara gratis," ujar Liana.

Dijelaskan, ditargetkan pada 2007 seluruh industri di Indonesia sudah mengganti teknologinya dengan teknologi yang aman bagi ozon. "Dengan total hibah mencapai US$ 16 juta ," ujarnya.

Pemerintah akan menyaring perusahaan-perusahaan yang akan mendapatkan program intensif tersebut. Penyaringan itu dilakukan oleh tim berdasarkan beberapa kriteria.

"Anggota tim yang menyaring tersebut tidak hanya dari Kantor Menteri LH tetapi juga dari World Bank, UNDP, dan UNIDO sebagai pemberi dana," katanya.

Sedangkan untuk pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim negara-negara berkembang memperoleh bantuan dari Global Environment Facilities (GEF). Indonesia belum banyak memanfaatkan bantuan tersebut tetapi baru menyusun komunikasi nasional yang pertama. "Komunikasi Nasional tersebut terutama berisi tentang laporan hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia," jelas Liana.

Sementara untuk mengatasi permasalahan deposisi asam sejak tahun 1998 pemerintah Indonesia beserta negara-negara Asia yang lain bergabung dalam suatu jaringan yang disebut EANET (East Asia Network for Acid Deposition).

Fungsi EANET antara lain membantu secara teknis kepada anggota, termasuk pelaksanaan training dan berbagai pertemuan, melakukan kegiatan quality assurance dan quality control terhadap hasil pemantauan, dan mengumpulkan data hasil monitoring, dan lain-lain.

Dikatakan Liana, selain memberi insentif kepada perusahaan, kantor LH juga berupaya menyosialisasikan isu pentingnya perlindungan lapisan ozon, perubahan iklim, dan deposisi asam kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah.

"Hal itu sejalan dengan penerapan otonomi daerah. Dengan demikian pada saatnya nanti pemerintah daerah dan masyarakat di sanalah yang akan memperoleh manfaat dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Wina dan Konvensi Perubahan Iklim," jelasnya. Dia juga berharap pemerintah dan masyarakat di daerah dapat menangkap berbagai peluang yang timbul dari kedua konvensi dan protokol tersebut. Yaitu mengadakan proyek-proyek investasi yang disalurkan ke berbagai perusahaan untuk menggantikan teknologi dan konsumsi bahan-bahan perusak ozon. (YC/L-2)

Jumat, 04 April 2008

Dilema antara Solusi Krisis Energi Nasional atau Menambah Pemanasan Global


Dalam selang waktu dua tahun ini Perusahan Listrik Negara(PLN) melalui iklan layanan masyrakatnya gencar mensosialisasikan mengenai penghematan listrik dari pukul 17.00-22.00. Sebagai negara berkembang Indonesia tentunya memerlukan banyak energi listrik terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, pelayanan masyarakat, maupun pembangunan infrastruktur lainnya. Jeratan krisis listrik nasional dalam kurun waktu tahun 2000 sampai posisi saat ini membuat pemerintah dalam hal ini PLN bertindak cepat. Konsumsi akan energi listrik nasional yang terus meningkat membuat pemerintah berencana membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Dua program total 20.000 MW dirancang berjalan bersamaan, yaitu 10.000 MW dibangun hingga tahun 2009 oleh pemerintah melalui PT. PLN dan 10.000 MW oleh pembangkit listrik swasta. Khusus program percepatan pembangunan PLTU batubara 10.000 MW oleh PLN mulai menggeliat.

Tidak bisa di pungkiri batubara merupakan salah satu solusi penanganan krisis energi nasional untuk mengurangi pemakaian BBM. Akan tetapi setiap bahan bakar memiliki keunggulan dan kelemahan. Berdasarkan data dari PT. Tambang Batubara Bukit Asam, hingga tahun 1991 jumlah batubara yang ditambang baru sebesar 14.478 ribu ton, dari total cadangan yang diperkirakan sebesar 34 milyar ton. Selain itu harga bahan baku batubara lebih murah dibandingkan minyak bumi. Namun solusi mengenai ketenagalistrikan berbahan bakar batubara ini tentu akan menimbulkan dampak lingkungan yang buruk apabila tidak ditanggulangi dengan baik, yaitu sumber gas rumah kaca. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang dapat menutupi atmosfer bumi sehingga radiasi panas dari sinar matahari yang telah dipantulkan oleh permukaan bumi tidak dapat keluar dari atmosfer bumi (terperangkap). Pada konsentrasi yang normal gas rumah kaca berfungsi sebagai selimut bumi, sehingga suhu bumi sesuai sebagai mestinya. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (gas rumah kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itulah yang disebut efek rumah kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari Efek Rumah Kaca.

Efek Rumah Kaca terjadi alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.

Sumber-sumber emisi karbondioksida secara global dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara):

36% dari industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dll)
27% dari sektor transportasi
21% dari sektor industri
15% dari sektor rumah tangga & jasa
1% dari sektor lain -lain.
Data-data diatas belum termasuk hasil dari pembalakan hutan liar. Terkait dengan pembangunan PLTU, sumber utama penghasil emisi karbondioksida secara global, yaitu pembangkit listrik bertenaga batubara. Pembangkit listrik ini membuang energi 2 kali lipat dari energi yang dihasilkan. Semisal, energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan 35 unit. Maka, energi yang terbuang adalah 65 unit! Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbondioksida per tahun. Bila semua hal ini tidak diperhatikan maka akan terjadi perubahan iklim (climate change).

Dampak-dampak lainnya:

Musnahnya berbagai jenis keanekragaman hayati
Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir
Mencairnya es dan glasier di kutub
Meningkatnya jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun karena kekeringan yang berkepanjangan
Kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas. Pada tahun 2100 diperkirakan permukaan air laut naik hingga 15 - 95 cm.
Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia
Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan
Menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah -daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk)
Daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus pengungsian.
Hal yang menarik tentang semua ini mungkin akan disinggung dalam Convention on Climate Change di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007. Konferensi yang tujuan utamanya adalah untuk membahas keberlanjutan dari Protokol Kyoto yang akan usang ini dihadiri oleh multi-negara. Salah satu agenda yang akan diusung oleh pemerintah. Indonesia sebagai tuan rumah menurut Rachmat Witoelar (Menneg Lingkungan Hidup) adalah agar dunia menyadari bahwa kalau kita memelihara hutan, kita lestarikan, akan mempunyai dampak yang sangat positif untuk iklim dunia. Negara-negara maju dan tidak memiliki hutan harus iuran untuk menegakkan kelestarian itu.

Padahal seperti kita ketahui juga bahwa daerah penambangan batubara terbesar adalah Kalimantan yang saat ini kondisi kelestarian flora dan fauna terancam. Namun tidak sepenuhnya kesalahan pihak penambang, karena kontrol pemerintah maupun kerjasama oknum aparat yang membuat hutan Kalimantan semakin gundul akibat penambangan maupun HPH.

Penutup

Setidaknya apabila Indonesia mendapatkan dana bantuan untuk reforestasi hutan Indonesia dari konferensi tersebut bisa menjadi investasi paru-paru dunia. Ataupun setelah konfrensi tersebut justru Indonesia menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca akibat proyek pembangkit energi listrik. Solusi selain pelaksanaan peraturan maupun pengawasan mengenai lingkungan oleh aparat pemerintah pusat dan daerah, LSM lingkungan adalah peran aktif masyarakat yang tinggal di daerah sekitar pembangkit merupakan hal yang patut dilaksanakan. Akhir kata yang ingin saya tekankan mengenai climate change ini adalah faktor manusia meruapakan kunci untuk pencegahan maupun semakin parahnya climate change ini. Namun khusus untuk sumber batubara kita, perlu kita ingat bahwa selama ini batubara kita lebih banyak di ekspor, jika sekarang PLN akan lebih menggunakan batubara ini jangan disikapi miring, karena sementara ini adalah solusi sementara yang cepat untuk keluar jeratan kekurangan pasokan energi listrik nasional.

Kamis, 03 April 2008

Pengukuran Emisi Otomatis Untuk Emisi Otomobil


Emisi otomotif adalah penyebab utama dari polusi udara dan kontributor dominan terhadap asbut (asap kabut). Untuk mengontrol polusi udara, banyak negara bagian di Amerika mensyaratkan tes emisi, namun tes ini mahal dan tidak selalu akurat. Donald Stedman, seorang profesor di Universitas Denver, Amerika, telah mengembangkan metode yang cepat dan relatif murah untuk mengukur emisi otomotif yang mengincar kendaraan yang memiliki tingkat polusi tinggi.

Tes emisi mengukur tiga jenis polutan : hidrokarbon, karbon monoksida, dan nitrogen oksida. Emisi hidrokarbon dihasilkan saat bahan bakar yang tidak terbakar sempurna pada mesin kendaraan. Pengubah katalitik, yang merupakan bagian dari sistem pembuangan, membantu mengkontrol emisi-emisi ini dengan mengoksidasi beberapa hidrokarbon.

Karbon monoksida (CO) diemisikan saat rasio antara udara/bahan bakar terlalu besar-dimana rasio ini lebih besar pada bahan bakar. Normalnya, ketika bahan bakar terbakar, karbon dalam bahan bakar bercampur dengan oksigen untuk menjadi CO2. Namun bila level oksigen terlalu rendah, karbon yang berlebih akan dioksidasi menjadi karbon monoksida.

Nitrogen oksida terbentuk saat oksigen berlebih memasuki ruang pembakaran. Karena temperatur yang tinggi dalam ruangan ini, maka oksigen bereaksi dengan nitrogen dari udara dalam silinder yang membentuk nitrogen dioksida.

N2 + O2 -> 2 NO

Pos pemeriksaan biasanya hanya mengukur emisi-emisi ini dengan menggunakan sebuah alat yang menghasilkan sinar inframerah dan radiasi ultraviolet di atau dekat dengan knalpot. Tiap-tiap emisi menyerap IR / UV pada frekuensi tertentu. Sebuah detektor pada instrumen pengujian mengukur berapa jumlah IR/UV yang diserap oleh emisi kendaraan.

Alasan dibalik molekul seperti hidrokarbon dapat dideteksi dengan radiasi IR adalah karena ikatan antara atom sebenarnya melakukan getaran. Sebagai contoh, ikatan C-H dalam hidrokarbon bergetar dengan frekuensi tertentu. Jika frekuensi ini cocok sama dengan radiasi IR yang dipancarkan, molekul ini akan menyerap radiasinya. Prinsipnya hampir sama dengan orang yang meloncat dari papan loncat. Ketika orang ini menenai papan tepat saat papan berada pada titik paling bawah dari momentum gerakannya,energinya kemudian akan diserap dan orang tersebut meloncat kian tinggi. Jika titik kontaknya terjadi saat papan berada di titik saat menuju keatas, maka energi tidak akan diserap.

Donald Stedman telah megadaptasikan instrumen ini ke dalam sebuah alat pengukur jarak jauh yang dapat mendeteksi emisi otomotif dalam lalu lintas sehari-hari. Secara singkat, ia memotong instrumen ini menjadi setengahnya, dengan sumber IR/UV pada satu sisi jalan dan detektor di sisi lainnya. Radiasi kemudian diarahkan pada knalpot dari kendaraan yang melintas. Detektor ini terhubung dengan komputer yang akan mengolah data, dan juga tersambung dengan sebuah video kamera yang merekam nomor polisi dari kendaraan yang melintas itu. Departemen Otomotif Amerika dapat menggunakan informasi ini untuk memberitahu pengendara yang memiliki nilai emisi melebihi batas yang ditentukan.


Satu keuntungan dari sistem ini adalah keuntungan dari segi jumlah, dimana alat ini dapat menguji puluhan ribu kendaraan dalam satu hari; sebagai perbandingan pos pemeriksan emisi hanya dapat melakukan pengujian hingga tingkat ratusan saja. Selain itu keuntungan berada pada segi biaya, pengujian emisi di pos berkisar pada harga $ 25.00 per uji, sedang sistem ini hanya berkisar pada harga 50 sen Amerika. Selain itu, ketika Stedman menguji sistem ini di Denver, Los Angeles, dan tempat lainnya, ia menemukan bahwa kurang dari 10 persen kendaraan adalah kontributor untuk polusi udara pada tingkat 50 persen. Mengenali dan memperbaiki kendaraan-kendaraan ini dapat mengurangi polusi udara tanpa menyebabkan ketidaknyamanan pada kendaraan lain yang tidak bermasalah.

Ancaman Polutan Dalam Ruangan

Kita umumnya berpikir otomotif dan industri adalah sumber utama dari polusi. Pakta Clean Air tahun 1970, direvisi tahun 1990, telah berhasil mengurangi beberapa emisi di ruang terbuka; namun ancaman polutan seseorang mungkin lebih besar berada di dalam ruangan dibandingkan di ruang terbuka.

Sebagai contoh, cat kuku melepaskan lebih banyak formaldehida / formalin (H2CO) dibandingkan dengan papan kayu yang umum digunakan di konstruksi bangunan di amerika. Formaldehida adalah sebuah senyawa organik yang volatil (SOV), dan umum digunakan sebagai pembersih lantai dan bahan pelapis.

Benzen (C6H6), sebuah SOV lainnya adalah bahan karsinogen. Seorang peneliti dari Environmental Protection Agency Amerika, Lance A. Wallace mengidentifikasi sumber dari semua emisi benzen dan membandingkannya dengan sumber-sumber benzen yang umumnya masyarakat hirup. Hasil yang ditunjukkan oleh grafik dibawah mengindikasikan bahwa 45% dari pendedahan masyarakat Amerika terhadap benzen berasal dari kegiatan merokok, baik aktif dan pasif. Namun asap tembakau hanya bernilai 0,1% dari emisi total. Selain itu, otomotif adalah penyumbang terbesar dari benzen yang berada di atmosfer (82%), namun benzen yang berasal dari sumber ini hanya 36% dari pendedahan seorang individu terhadap benzen di Amerika.

Dalam kata lain, jika semua emisi benzen dikurangi di atmosfer maka dampaknya terhadap pendedahan seseorang terhadap benzen jauh lebih kecil dibandingkan bila kita mengurangi kegiatan merokok. Jadi secara ironis, bila kita ingin menyelamatkan diri maka bukan asap kendaraan lah yang perlu kita kurangi, tetapi mengurangi dan menghilangkan kegiatan merokok.

Pendedahan terhadap bahan kimia toksik lainnya cenderung disebabkan produk-produk dalam ruangan. Sebagai contoh, penyemprot ruangan, obat nyamuk, dan karbol adalah sumber paradiklorobenzen (C6H4Cl2), yang digolongkan sebagai SOV dan karsinogen. Pendedahan terhadap pestisida lebih sering terjadi di dalam ruangan dibandingkan di ruang terbuka. Contoh lain SOV adalah tetrakloroetilen (C2Cl4), digunakan sebagai bahan pembersih dalam pencucian pakaian dengan metode dry-clean. Pemanggang dan alat dapur lain yang tidak diset dengan baik dapat melepaskan karbon monoksida di dalam rumah.

Divisi Seattle dari American Lung Asssociation mensponsori sebuah program bernama "Master Home Environmentalists", dimana sukarelawan terlatih menolong para warga untuk mengkontrol bahan kimia di dalam rumah. Program ini telah menolong para penderita asma untuk menghilangkan polutan dalam ruangan.

Salah satu penyumbang terbesar polutan dalam ruangan adalah pembersihan karpet, karena ini mengumpulkan beberapa senyawa kimia yang masuk ke dalam rumah. Seorang anak memiliki tingkat dedah terhadap kadmium, timbal, bifenil terpoliklorinasi dan logam lainnya berasal dari pembersihan karpet. Debu juga merupakan masalah kesehatan, terutama partikel-partikel dengan ukuran 10 mikron dan yang lebih kecil.

Banyak sumber polutan rumah tangga dapat dikontrol bahkan dihilangkan. Hal sederhana seperti menggunakan karpet di depan pintu dapat mengurangi senyawa-senyawa kimia berbahaya yang dapat masuk ke dalam rumah. Tips lainnya dalah hilangkan penyemprot ruangan dan sumber lain paradiklorobenzen. Jangan menyimpan bensin di ruangan bawah tanah. Gunakan penyedot debu yang baik untuk pembersihan karpet.