KAUM muda mungkin banyak yang menyenangi sepak bola. Alat terpenting pertandingan sepak bola tentu saja adalah sebuah bola sepak. Bola sepak memiliki 12 muka pentagonal (bersudut lima) dan 20 muka heksagonal (bersudut enam). Sedikit orang yang tahu bahwa dalam kimia ada molekul yang berbentuk bola sepak. Itulah buckminsterfullerene, suatu cluster karbon yang mengandung 60 atom karbon (Gambar 1). Tulisan singkat berikut mengajak kaum muda untuk mengenal lebih jauh molekul yang mengagumkan ini.Cluster karbon adalah senyawa gerombol atom-atom karbon. Buckminsterfullerene adalah cluster karbon yang pertama ditemukan, yang memiliki bentuk geometri seperti bola. Molekul ini ditemukan pada tahun 1985 oleh Richard E Smalley, Robert F Curl, Jr (keduanya dari Rice University, Houston, Amerika Serikat), dan Sir Harold W Kroto (dari University of Sussex, Brighton, Inggris), yang mengantar mereka meraih hadiah Nobel Kimia pada tahun 1996.
Buckminsterfullerene ditemukan secara tidak sengaja. Awalnya, ketiga ilmuwan itu ingin mempelajari pembentukan molekul karbon berantai panjang dalam suasana panas. Ini untuk membuktikan hipotesis Kroto mengenai molekul karbon dan nitrogen berantai panjang (sianopoliina) yang banyak terdapat di atmosfer bintang besar merah.
Pada tanggal 1 September 1985, bertempat di Houston, ketiga ilmuwan ini bersama JR Heath dan SC O'Brein melakukan percobaan penguapan grafit dengan alat yang telah dibuat oleh Smalley, yaitu laser-supersonic cluster beam apparatus. Grafit disinari langsung dengan sinar laser. Atom-atom karbon yang terionisasi (plasma karbon) kemudian dicampur dengan aliran gas helium, dikombinasikan, dan didinginkan dalam wadah vakum sampai beberapa derajat di atas suhu nol mutlaknya. Selanjutnya dianalisis dengan spektrometer massa (suatu alat untuk mengetahui bobot molekul).
Mereka terkejut, sebab dari data spektrometer massa menunjukkan terbentuknya cluster karbon yang terdiri dari 60 dan 70 atom karbon. Cluster 60 karbon (C60) yang lebih melimpah. Kelompok peneliti ini medapatkan sesuatu yang lain untuk dipikirkan lebih lanjut. Timbul dugaan bahwa C60 mempunyai struktur mirip bola karena molekul ini stabilitasnya tinggi dengan diasumsikan sebagai kerangka tertutup bersimetri tinggi. Kemudian mereka menamai bentuk baru karbon ini dengan nama buckminsterfullerene, yang diambil dari nama seorang arsitek Amerika Serikat, R Buckminster Fuller yang mendesain bagunan berkubah seperti bola untuk World Exhibition 1967 di Montreal, Kanada.
Penemuan struktur unik C60 yang dipublikasikan dalam jurnal Nature pada tanggal 14 November 1985, sangat menghebohkan serta mendapat tanggapan pro dan kontra. Sebelumnya tidak ada fisikawan dan kimiawan yang memperkirakan bahwa karbon murni mempunyai bentuk lain. Sebagaimana diketahui hanya terdapat dua bentuk karbon murni, yaitu grafit yang terdiri dari lembaran dua dimensional, dan yang kedua adalah intan, yakni jejaringan atom tiga dimensional.
Untuk memperoleh kejelasan, dari tahun 1985-1990, Curl, Kroto, dan Smalley lebih lanjut meneliti C60. Mereka mencoba mereaksikannya dengan hidrogen, karbon monoksida, sulfur dioksida, oksigen, atau amonia. Dari data spektrometer massa tidak diperoleh perubahan puncak C60. Hasil ini menunjukkan C60 adalah senyawa yang sukar bereaksi.
Selain itu, mereka juga berhasil membuat cluster karbon dengan jumlah atom karbon genap (40-80) yang bereaksi lambat seperti C60. Bukti lanjut menunjukkan bahwa semua cluster itu memiliki struktur tertutup, menyerupai sangkar. Kombinasi antara sifat kimia dan struktur tertutup mirip dengan C60, maka mereka pun menamai golongan cluster karbon dengan nama fullerene.
Pada tahun 1990, D R Huffman and W Kratschmer untuk pertama kalinya berhasil mengisolasi C60. Kedua astrofisikawan itu melakukan percobaan dengan cara memanaskan dua batang grafit dengan arus listrik sampai suhu tinggi di dalam atmosfer helium bertekanan 13 kPa. Kedua batang grafit itu menyusut secara perlahan dan menghasilkan jelaga. Jelaga yang terbentuk kira-kira mengandung 10 persen C60 dan C70. Jelaga itu kemudian dikumpulkan dan diberi perlakuan dengan benzena untuk melarutkan C60 dan C70, yang kemudian dapat dipisahkan dengan metode kromatografi kolom dan ditentukan strukturnya. Hasil penelitian Huffman dan Kratschmer mendukung kebenaran hipotesis struktur C60.
Penemuan buckminsterfullerene dan metode untuk mengisolasinya telah membuka pintu ke bidang kimia dan ilmu material baru yang menarik. Kimia Fullerene menjadi cabang baru ilmu kimia. Buckminsterfullerene menjadi topik pembicaraan dan penelitian yang menarik. Bahkan pada tahun 1991, molekul ini dielukan sebagai Molecule of the Year dan gambarnya menghiasi sampul depan majalah Scientific American.
Beberapa sifat fisik dan kimia buckminsterfullerene antara lain berupa serbuk hitam, tidak larut air, bereaksi lambat dengan gas seperti hidrogen, berbobot molekul 720, berdensitas 1,72 g/cm3, sangat stabil, dan bersimetri tinggi. Selain itu, yang menonjol adalah strukturnya yang indah.
Kegunaan "buckminsterfullerene"
Meskipun aplikasi praktis molekul ini belum terealisasikan, seperti penemuan superkonduktor yang diaplikasikan dalam kereta api super cepat, C60 dan turunannya menjadi topik penelitian yang menarik. Hasil penelitian di University of California, San Francisco, menyatakan turunan C60 dapat menghambat virus HIV-1 dan HIV-2 yang menyebabkan penyakit AIDS. Selain itu, penelitian di University of California, Santa Barbara, telah berhasil membuat turunan C60 yang larut air dan bahan ini mampu memblokir HIV protease yang merusak protein.
Alan J Heeger (salah seorang penerima hadiah Nobel Kimia 2000) beserta koleganya memanfaatkan C60 sebagai akseptor dalam pembuatan material untuk sel fotovoltaik, yaitu alat yang dapat mengubah sinar matahari menjadi listrik (Science, Vol. 270, 15 Desember 1995).
C60 dapat dengan mudah menerima elektron dan membentuk ion-ion negatif. Bila direaksikan dengan logam alkali (contohnya kalium), akan membentuk K3C60, suatu material kristalin baru yang menjadi superkonduktor pada suhu 19 K. C60 dapat digunakan untuk membuat tabung terkecil di dunia (nanotubes) dari karbon. Tabung ini dapat ditutup pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Material ini mungkin dapat diterapkan dalam industri elektronika karena keunikan sifat-sifat mekanik dan listriknya. Gambar 2 menyajikan bentuk K3C60 dan nanotube. C60 dapat juga digunakan sebagai katalis karena C60 dapat menerima dan mendonorkan elektron. Penggunaan C60 sebagai katalis akan menggantikan katalis logam yang mahal dan beracun
Dari sejarah penemuan buckminsterfullerene menunjukkan kepada kita bahwa kolaborasi disiplin ilmu yang berbeda (dengan bukti-bukti ilmiah yang sahih) akan melahirkan hasil yang mengagumkan dan tidak diperkirakan sebelumnya. Buckminsterfullerene adalah molekul yang stabil dan indah. Sesuatu yang indah itu pastilah akan menarik.
Tampilkan postingan dengan label Kimia Karbon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kimia Karbon. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 05 April 2008
Jumat, 04 April 2008
Energi Alternatif, Malah Bikin Pusing?

Hampir tiap hari kita melihat berita melambungnya harga minyak goreng curah di berbagai media massa. Bagaimana tidak, sejak awal April lalu, harga normal minyak goreng curah yang biasanya hanya sekitar 5000 sampai 6000 rupiah, sekarang di beberapa daerah sudah menembus 10,000 rupiah. Dua kali lipat! Padahal kita tahu pengguna minyak goreng curah sebagian besar adalah rakyat menengah ke bawah, dan padahal kita pun tahu Indonesia adalah pengekspor CPO kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Sungguh suatu paradoks yang menggelikan.
Ini terjadi karena para produsen di Indonesia, yang bersama-sama dengan Malaysia menyumbang 90% CPO (Crude Palm Oil, bahan dasar minyak goreng) dunia tergiur dengan harga yang ditawarkan pasar dunia. Harga CPO dunia melambung akibat permintaan Cina dan India yang terus meningkat sementara panen tahun lalu menurun karena kemarau yang berkepanjangan. Akibatnya, produsen CPO dalam negeri lebih senang menjual CPO ke luar negeri demi meraup untung daripada memenuhi kebutuhan domestik.
Di tengah-tengah gencarnya usaha pemerintah menggalakkan CPO sebagai biofuel dan biodiesel , tiba-tiba saja kita disadarkan kalau manusia tidak hanya butuh bensin tapi juga makan. Memang penyebab utama ricuhnya pasar minyak goreng kali ini bukan diakibatkan oleh besarnya jumlah CPO yang disisihkan untuk produksi energi alternatif, namun boleh jadi ini merupakan peringatan alam kepada kita.
Para ilmuwan selain menawarkan dunia dengan pilihan baru dalam dunia energi, di lain pihak mereka juga mengkhawatirkan efek samping yang mungkin timbul dari eksploitasi yang lepas kontrol ataupun faktor alam yang tidak terduga. Sama seperti CPO, jagung dan gandum-ganduman yang merupakan bahan dasar untuk membuat bioethanol juga bisa mengalami nasib yang sama. Tidak mustahil akan timbul bencana kelaparan di tengah-tengah melimpahnya panen hasil pertanian akibat kerakusan manusia sendiri.
Masih belum tuntas pemerintah mengatasi masalah CPO, berita tentang ketidaksetujuan masyarakat akan niat pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Semenanjung Muria, Kudus pun menjadi topik hangat. Demo masyarakat sekitar bahkan didukung oleh Bupati Kudus sendiri yang khawatir akan malapetaka massal yang mungkin terjadi.
Memang kalau mengingat tarif listrik yang terus-menerus naik seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia (padahal sering “byar-pet”), atau tidak meratanya distribusi listrik sampai ke pelosok-pelosok desa, sekilas nuklir merupakan solusi yang terbaik. Namun masalahnya, sanggupkan bangsa Indonesia, yang kerap menjatuhkan kapal terbang dan menenggelamkan kapal laut memenuhi standar keamanan industri nuklir yang sangat tinggi? Apakah para pegawai PLTN akan melakukan perawatan mesin dengan cermat dan teliti? Sedangkan Swedia dan Jerman saja berniat menghentikan ketergantungan mereka pada energi nuklir?
Saya rasa keuntungan dan resiko pada setiap kebijakan energi alternatif perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Sebagai negara berkembang, mungkin kita harus menahan diri agar tidak bermimpi terlalu jauh untuk bisa menikmati kemajuan sains. Karena kalau tidak mawas diri, bisa-bisa kita hanya jadi korban globalisasi dan utopia energi alternatif.
Kamis, 03 April 2008
Degradasi Minyak Bumi via "Tangan" Mikroorganisme

Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan laut) yang tertimbun selama berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas pantai. Hal ini menunjukkan bahwa minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Terbentuknya minyak bumi sangat lambat, oleh karena itu perlu penghematan dalam penggunaannya.
Di Indonesia, minyak bumi banyak terdapat di bagian utara Pulau Jawa, bagian timur Kalimantan dan Sumatera, daerah kepala burung Papua, serta bagian timur Seram. Minyak bumi juga diperoleh di lepas pantai Jawa dan timur Kalimantan.
Minyak bumi kasar (baru keluar dari sumur eksplorasi) mengandung ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun padatan. Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi mengandung senyawa nitrogen antara 0-0,5%, belerang 0-6%, dan oksigen 0-3,5%. Terdapat sedikitnya empat seri hidrokarbon yang terkandung di dalam minyak bumi, yaitu seri n-paraffin (n-alkana) yang terdiri atas metana (CH4) sampai aspal yang memiliki atom karbon (C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso-paraffin (isoalkana) yang terdapat hanya sedikit dalam minyak bumi, seri neptena (sikloalkana) yang merupakan komponen kedua terbanyak setelah n-alkana, dan seri aromatik (benzenoid).
Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi Amerika komponen utamanya ialah hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia banyak mengandung hidrokarbon siklik, sedangkan yang terdapat di Indonesia banyak mengandung senyawa aromatik dan kadar belerangnya sangat rendah.
Minyak bumi berdasarkan titik didihnya dapat dibagi menjadi sembilan fraksi. Pemisahan ini dilakukan melalui proses destilasi.
Tabel Fraksi-fraksi minyak bumi
Permasalahan terjadi ketika produk minyak bumi yang dimanfaatkann manusia memunculkan efek yang tidak diinginkan bagi manusia itu sendiri ataupun bagi lingkungan sekitar. Sebagai contoh adalah produk minyak bumi plastik, yang menimbulkan masalah pencemaran lingkungan karena sulit didegradasi (memerlukan waktu yang lama untuk menghancurkannya). Belum lagi bahaya tumpahan minyak bumi dalam jumlah besar di laut seperti yang terjadi pada bulan Maret 1989 di dekat Prince William Sound, Alaska (11 juta galon minyak bumi dari super tanker Exxon Valdex tumpah ke laut) yang menimbulkan kerusakan berat ekosistem laut. Bahkan menurut catatan, biaya yang diperlukan untuk membersihkan tumpahan minyak tersebut diduga mencapai 1,5 milyar dolar Amerika Serikat.
Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan yang lebih efektif dan efisien dalam mengatasi limbah yang ditimbulkan oleh produk minyak bumi. Salah satu metode paling cepat adalah dengan degradasi minyak bumi yang memanfaatkan mikroorganisme atau yang sering disebut biodegradasi.
Dekomposisi Minyak Bumi
Degradasi minyak bumi dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti bakteri, beberapa khamir, jamur, sianobakteria, dan alga biru. Mikroorganisme ini mampu menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Mikroorganisme ini berpartisipasi dalam pembersihan tumpahan minyak dengan mengoksidasi minyak bumi menjadi gas karbon dioksida (CO2). Sebagai contoh, bakteri pendegradasi minyak bumi akan menghasilkan bioproduk seperti asam lemak, gas, surfaktan, dan biopolimer yang dapat meningkatkan porositas dan permeabilitas batuan reservoir formasi klastik dan karbonat apabila bakteri ini menguraikan minyak bumi.
Di dalam minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan pengoksidasi alkana normal.
Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bekteri pendegradasi komponen ini berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah didegradasi.
Jenis Hidrokarbon yang Didegradasi Mikroba
1. Hidrokarbon Alifatik
Mikroorganisme pedegradasi hidrokarbon rantai lurus dalam minyak bumi ini jumlahnya relatif kecil dibanding mikroba pendegradasi hidrokarbon aromatik. Di antaranya adalah Nocardia, Pseudomonas, Mycobacterium, khamir tertentu, dan jamur. Mikroorganisme ini menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi oleh mikroba (sebagai pengecualian adalah bakteri pereduksi sulfat).
Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh mikroorganisme meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi. Reaksi lengkap dalam proses ini terlihat pada gambar .

2. Hidrokarbon Aromatik
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh mikroorganisme seperti bakteri dari genus Pseudomonas. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat. Gambar menunjukkan reaksi perubahan senyawa benzena menjadi catechol.

Faktor Pembatas Biodegradasi
Kemampuan sel mikroorganisme untuk melanjutkan pertumbuhannya sampai minyak bumi didegradasi secara sempurna bergantung pada suplai oksigen yang mencukupi dan nitrogen sebagai sumber nutrien. Seorang ilmuwan bernama Dr. D. R. Boone menemukan bahwa nitrogen tetap merupakan nutrien yang paling penting untuk degradasi bahan bakar. Selain itu keaktifan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti temperatur dan pH. Kondisi lingkungan yang tidak sesuai menyebabkan mikroba ini tidak aktif bekerja mendegradasi minyak bumi. Sebagai contoh, penambahan nutrien anorganik seperti fosfor dan nitrogen untuk area tumpahan minyak meningkatkan kecepatan bioremediasi secara signifikan.
Minyak Pelumas dari Botol Plastik Bekas

Percayakah Anda jika suatu saat nanti botol plastik bekas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak pelumas untuk kendaraan bermotor? Jika tidak percaya, tanyakan saja pada Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan konsultan peneliti di Chevron. Bersama rekan-rekannya di Pusat penelitian Chevron Energy Technology Company, Richmond, California, Amerika Serikat dan University of Kentucky, ia berhasil mengubah limbah plastik menjadi minyak pelumas. Bagaimana caranya?
Sebagian besar penduduk di dunia memanfaatkan plastik dalam menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, pada tahun 2001, penduduk Amerika Serikat menggunakan sedikitnya 25 juta ton plastik setiap tahunnya. Belum ditambah pengguna plastik di negara lainnya. Bukan suatu yang mengherankan jika plastik banyak digunakan. Plastik memiliki banyak kelebihan dibandingkan bahan lainnya. Secara umum, plastik memiliki densitas yang rendah, bersifat isolasi terhadap listrik, mempunyai kekuatan mekanik yang bervariasi, ketahanan suhu terbatas, serta ketahanan bahan kimia yang bervariasi. Selain itu, plastik juga ringan, mudah dalam perancangan, dan biaya pembuatan murah.
Sayangnya, di balik segala kelebihannya, limbah plastik menimbulkan masalah bagi lingkungan. Penyebabnya tak lain sifat plastik yang tidak dapat diuraikan dalam tanah. Untuk mengatasinya, para pakar lingkungan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan berbagai penelitian dan tindakan. Salah satunya dengan cara mendaur ulang limbah plastik. Namun, cara ini tidaklah terlalu efektif. Hanya sekitar 4% yang dapat didaur ulang, sisanya menggunung di tempat penampungan sampah.
Masalah itulah yang mendasari Miller dan rekan-rekannya melakukan penelitian ini. Sebagian besar plastik yang digunakan masyarakat merupakan jenis plastik polietilena. Ada dua jenis polietilena, yaitu high density polyethylene (HDPE) dan low density polyethylene (LDPE). HDPE banyak digunakan sebagai botol plastik minuman, sedangkan LDPE untuk kantong plastik. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal American Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel) edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, lalu menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut.
Ternyata, ketika polietilena dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa hidrokarbon cair. Senyawa ini mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi minyak pelumas berkualitas tinggi. Sekadar informasi, minyak pelumas yang saat ini beredar di pasaran berasal dari pengolahan minyak bumi. Minyak mentah (crude oil) hasil pengeboran minyak bumi di dasar bumi mengandung berbagai senyawa hidrokarbon dengan titik didih yang berbeda-beda. Kemudian, berbagai senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah ini dipisahkan menggunakan teknik distilasi bertingkat (penyulingan) berdasarkan perbedaan titik didihnya. Selain bahan bakar, seperti bensin, solar, dan minyak tanah, penyulingan minyak mentah juga menghasilkan minyak pelumas. Sifat kimia senyawa hidrokarbon cair dari hasil pemanasan limbah plastik mirip dengan senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah sehingga dapat diolah menjadi minyak pelumas. Pengubahan hidrokarbon cair hasil pirolisis limbah plastik menjadi minyak pelumas menggunakan metode hidroisomerisasi. Miller berharap minyak pelumas buatan ini dapat digunakan untuk kendaraan bermotor dengan kualitas yang sama dengan minyak bumi hasil penyulingan minyak mentah, ramah lingkungan, sekaligus ekonomis.
Sebenarnya, usaha pembuatan minyak sintetis dari senyawa hidrokarbon cair ini bukan suatu hal baru. Pada awal 1990-an, perusahaan Chevron telah mencoba mengubah senyawa hidrokarbon cair menjadi bahan bakar sintetis untuk tujuan komersial. Hanya saja bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon cair berasal dari gas alam (umumnya gas metana) melalui proses katalitik yang dikenal dengan nama proses Fischer-Tropsch.
Pada proses Fischer-Tropsch ini, gas metana diubah menjadi gas sintesis (syngas), yaitu campuran antara gas hidrogen dan karbon monoksida, dengan bantuan besi atau kobalt sebagai katalis. Selanjutnya, syngas ini diubah menjadi senyawa hidrokarbon cair, untuk kemudian diolah menggunakan proses hydrocracking menjadi bahan bakar dan produk minyak bumi lainnya, termasuk minyak pelumas. Senyawa hidrokarbon cair hasil pengubahan dari syngas mempunyai sifat kimia yang sama dengan polietilena.
Gas alam yang digunakan berasal dari Amerika Serikat. Belakangan, daerah lepas laut Timur Tengah menjadi sumber gas alam karena di sana harga gas alam lebih murah. Minyak pelumas dari gas alam ini untuk sementara dapat menjadi alternatif minyak pelumas hasil pengolahan minyak bumi. Pada masa mendatang, cadangan gas alam di dunia diperkirakan akan segera menipis. Di lain pihak, kebutuhan akan minyak pelumas semakin tinggi. Kini, dengan adanya penemuan ini, pembuatan minyak pelumas nampaknya tidak lagi memerlukan gas alam. Cukup dengan memanfaatkan limbah botol plastik, jadilah minyak pelumas. Tertarik mencoba?
Langganan:
Postingan (Atom)