
Tanggal 8 Oktober 2003 lalu, Yayasan Nobel mengumumkan dua pemenang Nobel Kimia: Peter Agre dan Roderick MacKinnon. Keduanya ilmuwan Amerika. Hasil penelitian mereka tentang saluran pada sel tubuh manusia dinilai sangat bermanfaat untuk memahami terjadinya berbagai macam penyakit.
Penghargaan Nobel Kimia yang umurnya sudah seratus tahun lebih ini sarat dengan penemuan-penemuan penting lainnya. Artikel berikut memberikan sedikit gambaran tentang sejarah penghargaan Nobel Kimia: para penerimanya, penemuan-penemuan mereka, juga cerita dan kontroversi di balik pemberian penghargaan yang sangat berwibawa ini.
Dalam kurun waktu 15 tahun pertama sejarah Nobel Kimia, cabang ilmu kimia organik (organic chemistry) hanya mendapatkan penghargaan enam kali. Padahal bidang ini merupakan cabang ilmu kimia yang terkemuka dan terbesar saat itu. Sebaliknya, kimia fisik (physical chemistry), cabang ilmu yang baru saja berkembang, justru berhasil mendapatkan lebih banyak penghargaan Nobel. Salah satu alasannya adalah pakar kimia fisik memegang kekuasaan yang sangat menentukan di Komite Nobel Kimia di Stockholm.

Penghargaan Nobel Kimia pertama dianugerahkan kepada kimiawan asal Belanda Jacobus van't Hoff. Penghargaan ini dijadikan sebagai simbol penobatan van't Hoff sebagai pakar kimia fisik ulung pada masanya. Sekalian juga melambungkan cabang ilmu kimia fisik menjadi cabang ilmu yang terpenting di awal abad ke-20. Pemberian penghargaan Nobel Kimia pertama ke seorang kimiawan fisik merupakan hasil silang pendapat yang terjadi di dalam tubuh Komite Nobel Kimia yang saat itu terdiri dari orang-orang berikut (angka di dalam kurung adalah tahun mereka duduk di Komite):
P.T. Cleve (1900-1905)
Profesor Kimia, Universitas Uppsala
P. Klason (1900-1925)
Profesor Kimia dan Teknologi Kimia, Institut Teknologi Royal (Royal Institute of Technology)
O. Peterson (1900-1912)
Profesor Kimia, Stockholm Hogskola
H.G. Soderbaum (1900-1931)
Profesor Kimia Agrikultur, Academy of Agriculture
O. Widman (1905-1928)
Profesor Kimia, Universitas Uppsala
O. Hammarsten (1905-1926)
Profesor Kimia Fisiologi, Universitas Uppsala (menggantikan Cleve).
A.G. Ekstrand (1913-1924)
Pegawai sipil, insinyur (menggantikan Peterson)

Para kimiawan di atas merupakan kimiawan yang cukup berhasil di bidang mereka dan beberapa orang di antaranya sangat berpengaruh. Mereka memiliki peran penting dalam menentukan penerima penghargaan Nobel Kimia hingga tahun 1930. Walaupun begitu, ada satu ilmuwan lain yang paling berpengaruh, Svante Arrhenius. Dia justru tidak duduk di dalam Komite Nobel Kimia. Arrhenius adalah ilmuwan terkemuka Swedia dan salah satu ahli kimia fisik yang termasyhur di dunia saat itu. Dia duduk di Komite Fisika, tetapi berhak menominasi penerima penghargaan Nobel Kimia. Arrhenius menjadi terkenal gara-gara teori elektrolitas yang dia kembangkan pertama kali di disertasi doktornya pada tahun 1884. Universitas Uppsala tempat dia menimba ilmu hampir saja menolak disertasi ini dan Arrhenius sempat sakit hati. Bersama Peterson di kemudian hari mereka mendirikan perguruan tinggi saingan, Hogskola, di Stockholm (red: Hogskola ini semacam Institut Teknologi, seperti ITB di Bandung atau ITS di Surabaya).
Karena pengaruh Arrheniuslah dua dari tiga penerima penghargaan Nobel Kimia yang pertama adalah pakar kimia fisik. Kontribusi yang paling besar yang diberikan van't Hoff di tahun 1884 adalah penjelasannya atas reaksi-reaksi kimia pada larutan dengan memakai analogi hukum gas fisika. Sayangnya, garam, asam, dan alkali tidak memiliki sifat seperti yang van't Hoff prediksikan. Di sini muncullah Arrhenius yang memberikan penjelasan tambahan. Ketika garam, asam, dan alkali dilarutkan di dalam larutan lemah, mereka berurai dan memiliki sifat-sifat listrik dan kimia secara bersamaan. Senyawa-senyawa tersebut berubah menjadi ion-ion yang bermuatan positif dan negatif. Penemuan ini cukup menghebohkan. Hanya segelintir kimiawan yang mau menerima teori yang disodorkan Arrhenius. Tetapi semua ini berubah setelah J.J. Thomson menemukan elektron, partikel bermuatan negatif di dalam atom. Walau demikian, teori Arrhenius terbatas hanya untuk larutan lemah. Perlu waktu 40 tahun lagi sampai akhirnya dua ilmuwan, Peter Debye dan Erich Huckel di tahun 1923 menjelaskan bagaimana larutan keras bereaksi.

Yang cukup ironis adalah penerima penghargaan Nobel Kimia tahun 1908. Penghargaan ini diberikan kepada fisikawan Ernest Rutherford (seorang fisikawan yang menganggap remeh para kimiawan) untuk penemuannya mengenai radioaktivitas. Transmutasi alamiah unsur berat seperti uranium menjadi unsur-unsur lain yang lebih ringan sampai menjadi timah benar-benar mengubah pengertian manusia tentang kimia. Dengan mengubah nomor atom suatu unsur baik secara alamiah maupun campur tangan manusia, unsur tersebut berubah menjadi unsur yang lain.
Di tahun berikutnya, Wilhelm Ostwald dengan campur tangan Arrhenius akhirnya mendapat Nobel. Dia hampir saja tidak mendapat Nobel karena tidak percaya akan bentuk fisik atom. Karena sikapnya ini, penghargaan Nobel Kimia tahun 1907 diberikan ke Eduard Buchaner. Sikapnya berubah setelah penemuan Rutherford. Selanjutnya, Marie Curie menang di tahun 1911 untuk penemuan dua elemen baru yaitu polonium dan radium.
Penghargaan Nobel pada tahun 1916 dan 1917 dibatalkan karena berlangsungnya PD I. Setahun sebelumnya, di tahun 1915, penghargaan Nobel dianugerahkan kepada Richard Willstatter, kimiawan organik terkemuka setelah Emil Fischer untuk karyanya mengenai fotosintesis (bagaimana cahaya dapat menimbulkan reaksi kimia). Willstatter menganalisis klorofil dan menemukan bahwa secara kimia pigmen tumbuhan tersebut sama dengan hemoglobin. Baru di kemudian hari, di tahun 1940-an, Melvin Kelvin dapat menjelaskan reaksi fotosintesis dalam level molekular. Antara tahun 1982 dan 1985, penjelasan yang lebih komprehensif diberikan oleh Hartmut Michel, Johann Deisenhofer dan Robert Huber yang berbagi Penghargaan Nobel tahun 1988.

Setelah PD I usai, Nobel Kimia kembali diberikan pada tahun 1918. Penerimanya adalah kimiawan anorganik Fritz Haber. Penghargaan ini mungkin yang paling kontroversial dalam sejarah Nobel Kimia. Proses ammonia yang ditemukan Haber memang berguna bagi agrikultur untuk pembuatan pupuk. Tapi prosesnya ini juga digunakan untuk membuat gas beracun semasa perang. Sejarawan Elizabeth Crawford menunjukkan bahwa Komite Nobel sebenarnya tidak akan memberikan penghargaan Nobel ke Haber jika saja ada dukungan internasional untuk kandidat yang lain.
Penghargaan Nobel tahun 1920 merupakan puncak perang pribadi antara si penerimanya, Walther Nernst, dan Svante Arrhenius. Nernst menemukan teorema panas (kadang-kadang disebut sebagai hukum termodinamika ketiga). Penemuannya menggunakan fisika kuantum dan statistik di luar pemahaman van't Hoff dan Arrhenius. Maka, walaupun Nernst mendapat nominasi paling banyak dari tahun 1907 dan 1914, penghargaan Nobel untuk dia selalu ditunda-tunda. Arrheniuslah yang menjadi penghalangnya. Dulunya mereka teman dekat, tapi lantas menjadi antagonis. Nernst jauh lebih pintar dari Arrhenius, tapi Arrhenius memiliki suara menentukan di Komite Nobel.

Ketika van't Hoff menerima penghargaan pertama Nobel Kimia, penganugerahan tersebut mengabaikan hasil karya Josiah Willard Gibbs, ahli kimia fisik asal Amerika yang mengembangkan termodinamika kimia antara tahun 1876 dan 1878. Sayangnya, Gibbs menerbitkan karyanya di jurnal yang tak terkenal walau Gibbs sempat dianugerahkan Medal Copley dari Royal Society di Inggris. Dia juga tidak pernah mendapat nominasi dari van't Hoff ataupun Arrhenius yang jelas-jelas mengetahui hasil penelitian Gibbs dari terjemahan yang dikerjakan oleh Ostwald. Tapi karena van't Hoff sedang naik daun dan mendapat dukungan penuh dari Arrhenius, dialah yang mendapatkan penghargaan Nobel Kimia pertama. Dari sejarah awalnya sudah terlihat bagaimana penghargaan Nobel Kimia sudah sarat dengan permainan politik dan favorit.
Penghargaan Nobel yang kedua diraih oleh Emil Fischer, kimiawan organik terkemuka saat itu. Oleh Yayasan Nobel penghargaan ini dianugerahkan untuk penelitiannya tentang purines dan gula. Tapi sebenarnya dia juga meneliti hidrokarbon, dan dengan usaha sendiri mendirikan cabang ilmu kimia protein dan asam amino. Karena protein sangat penting dalam bidang biologi, Fischer dapat disebut sebagai pendiri biokimia modern. Dia meninggal dunia sangat tragis dengan cara membunuh diri setelah ketiga anaknya meninggal dalam Perang Dunia I (PD I).
Penghargaan yang ketiga diberikan kepada Arrhenius. Sebenarnya dia telah dinominasikan sejak tahun pertama penghargaan Nobel diberikan, tapi ditunda secara sengaja karena Komite Nobel tidak ingin membuat reputasi internasional yang jelek dengan memberikan penghargaan Nobel yang pertama kepada seorang berkebangsaan Swedia.
Penghargaan Nobel tahun 1904 diberikan kepada William Ramsay untuk penemuan beberapa gas mulia: argon, krypton, dan xenon. Tahun berikutnya kimiawan Jerman Adolf von Baeyer menang pada umur 72 tahun untuk karyanya mengenai sintesis bahan pewarna yang dikerjakannya 30 tahun sebelumnya. Tahun 1910, Otto Wallach menjadi Nobel Laureate karena berhasil mengklasifikasikan ratusan terpenes setengah abad sebelumnya. Terpenes merupakan senyawa kompleks pertama yang benar-benar berhasil dianalisis secara tuntas.
Penghargaan Nobel yang diberikan di tahun-tahun yang lain menghormati penemuan-penemuan yang cukup penting walau tidak sehebat yang disebut di atas. Tahun 1906 Moissan mendapat Nobel Kimia setelah berhasil mengisolasi fluorine di tahun 1886. Dua penerima Nobel Kimia di tahun 1912 adalah kimiawan asal Perancis, Grignard dan Sabatier yang menemukan bahan pereaksi (reagents) yang bermanfaat untuk analisis organik. Tahun 1914, T.W. Richards dari Harvard memenangkan Nobel untuk karyanya menemukan metode pengukuran massa atom yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar