Senin, 07 April 2008

Abu Zakaria Al-Razi, Dokter Kimiawan


Abu Reyhan Biruni menyebutkan bahwa Abu Zakaria Razi dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 251 hijriyah dan wafat pada bulan Sya’ban tahun 313 hijriyah. Saat menginjak usia sepuluh tahun ayahnya wafat. Setelah kematian ayahnya, ia mulai mempelajari matematika, filsafat, ilmu nujum, dan sastera di Rey, yang saat itu dikenal sebagai pusat aktivitas keilmuan dengan lembaga-lembaga pendidikannya yang meraih terutama di masjid-masjid dan sekolah-sekolah tradisional. Di samping itu, Al-Razi juga mempelajari ilmu kimia. Bagi Al-Razi, ilmuan yang paling banyak membantunya mempelajari kimia adalah Jabir bin Hayyan.



Abu Zakaria Al-Razi banyak melakukan percobaan dan dengan formula kimia, berusaha keras untuk mengubah logam biasa menjadi emas. Jerih payah itu dilakukannya hingga ia kehilangan penglihatan yang disebabkan oleh pengaruh bau dan zat-zat gas kimia yang tajam di laboratorium pribadinya.



Ketekunan dan kecintaannya kepada ilmu tak mengecilkan minatnya untuk mulai belajar ilmu kedokteran meski saat itu ia telah menginjak usia 30 tahun. Pendahuluan ilmu kedokteran ia pelajari di negeri Rey. Selanjutnya Al-Razi bertolak ke Baghdad untuk meneruskan studi. Kota Baghdad menjadi tujuannya karena di zaman itu Baghdad menjadi pusat bagi buku-buku terjemahan dari bahasa asing yang mengulas berbagai cabang ilmu termasuk kedokteran. Di kota itu pula, terdapat sejumlah rumah sakit yang besar dan lengkap dengan fasilitasnya. Apalagi, khalifah Bani Abbasi yang menjadikan Baghdad sebagai pusat pemerintahan mengumpulkan para ilmuan dari seluruh negeri Islam ke kota tersebut. Kondisi itu sangat membantu untuk mempelajari ilmu kedokteran.



Keberadaan sejumlah ilmuan termasuk Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi dan Aulad Bakhtisyu’ yang mengajar ilmu kedokteran di rumah sakit Haruni, membuat kota Baghdad menjadi pusat ilmu ini. Pada pertengahan abad ketiga hijriyah, Abu Zakaria Al-Razi bertolak dari Rey menuju Baghdad untuk melanjutkan studinya di bidang kedokteran. Tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti berapa lama Al-Razi tinggal di ibu kota pemerintahan Bani Abbas itu.



Al-Razi mempelajari ilmu kedokteran dengan terjun langsung menangani pasien. Kerja keras dilakukannya dengan menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Beliau tidak berguru secara langsung kepada para ilmuan kedokteran. Al-Razi lebih banyak membaca buku-buku kedokteran dan memanfaatkan hasil telaah langsung yang dilakukannya terhadap pasien. Kecerdasannya yang sangat tinggi membantu Al-Razi dalam mempelajari ilmu ini.



Telaah dan penelitiannya yang tak mengenal putus asa dan kata menyerah menjadikannya sebagai dokter yang dipandang di Baghdad. Tak ada yang meragukan keahliannya dalam menyembuhkan penyakit dan mengobati pasien. Karenanya, namanya selalu menjadi buah bibir di Baghdad. Namun hal itu membuat Al-Razi dimusuhi oleh para dokter Baghdad yang merasa iri terhadap keberhasilannya. Mereka pun dengan berbagai cara memaksa Abu Zakaria Al-Razi untuk meninggalkan Baghdad



Tahun 290 hijriyah, Al-Razi kembali ke Rey dan membangun sebuah rumah sakit yang ia kelola sendiri. Rumah sakit Rey yang dibangunnya bukan hanya menjadi pusat pengobatan dan perawatan para pasien, tetapi juga menjadi pusat telaah dan perkumpulan para ilmuan, filosof dan dokter. Di rumah sakit itu pula, Abu Zakaria Al-Razi mengajar kedokteran yang dihadiri oleh banyak peminat ilmu ini.



Di rumah sakit itu, Al-Razi memberikan kesempatan kepada murid-muridnya yang junior untuk melakukan diagnosa para pasien yang datang ke rumah sakit Rey. Jika mereka tidak mampu mendiagnosa penyakit tersebut, tugas dialihkan kepada para muridnya yang lebih senior. Demikian seterusnya kepada yang lebih senior. Sampai kemudian Al-Razi sendiri yang menangani pasien dan menjelaskan kepada murid-murid hasil diagnosa yang ia lakukan. Dengan demikian, Al-Razi mengajarkan ‘Ilm Al-Amradl (ilmu tentang penyakit) dan ‘Alaimu Al-Amradl (tanda-tanda penyakit).



Tidak semua orang bisa mempelajari ilmu kedokteran. Demikian keyakinan Abu Zakaria Al-Razi. Menurutnya, dokter hari memiliki sejumlah kriteria dan sifat khusus. Berbekal itu ditambah dengan kebersihan jiwa, seseorang layak mendapat sebutan dokter. Seorang yang bergelar dokter tidak akan menjadi ahli dan pakar kecuali setelah melalaui beberapa tahap sehingga ia layak menyandang sebutan dokter ahli.



Pada zaman itu, seorang yang mempelajari ilmu kedokteran umumnya menguasai minimal sepuluh cabang ilmu, diantaranya dan yang paling utama adalah ilmu fiqh, hadits, dan ilmu akhlaq. Untuk murid-muridnya, Abu Zakaria Al-Razi menulis beberapa buku seperti Sirr Al-Thibb, Mihnatu Al-Thabib, Khawashu Al-Talamidz dan semisalnya. Melalui buku-buku tersebut, Al-Razi menjelaskan kepada mereka akan rahasia kedokteran. Apa yang dilakukannya menunjukkan bahwa beliau menaruh perhatian yang besar pada masalah etika kedokteran. Al-Razi meyakini bahwa seorang dokter harus memiliki dan komitmen dengan etika kedokteran dan giat dalam melaksanakan tugasnya. Masalah itu ia bahas dalam buku Khawashu Al-Talamidz.



Dengan menelaah tentang biografi Al-Razi, akan kita temukan bahwa ia lama mempelajari ilmu kedokteran. Waktu yang singkat dimanfaatkannya dengan benar untuk mempelajari ilmu kedokteran sehingga membuatnya dikenal sebagai dokter yang ahli dan tak tertandingi di zamannya. Waktu singkat bagi Al-Razi dapat digunakan dengan maksimal untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Dan hasilnya, Al-Razi telah menyumbangkan karya-karya besarnya untuk dunia kedokteran.



Abu Zakaria Al-Razi meyakini persenyawaan empat unsur yang dikenal pada zaman itu (unsur tanah, angin, air dan api) juga masalah unsur atau molekul setiap benda dan persenyawaannya. Al-Razi bahkan melengkapi teori dan pandangan itu dengan temuan-temuan yang ia dapatkan lewat studi dan risetnya.



Al-Razi banyak menggunakan metode para ilmuan Yunani dalam mengungkap penyakit. Metode itu ia ikuti setelah mempelajari buku-buku karya ilmuan Yunani yang sudah diterjemahkan, bahkan ia menambahkan banyak hal pada metode-metode dan teori Yunani. Tidak sedikit penyakit yang saat itu tidak diketahui berhasil ia kenali, diantaranya adalah penyakit-penyakit akibat infeksi, cacar dan batuk darah.



Pada zaman Al-Razi, belum pernah ada praktik kedokteran yang melakukan pembedahan dan mengungkap fungsi masing-masing anggota tubuh. Meski demikian, karya-karya Al-Razi menunjukkan bahwa ia tidak buta tentang ilmu anotomi. Kemungkinan ia atau ilmuan seperti dia telah melakukan pembedahan tubuh kera untuk mengungkap anatomi tubuh dan fungsi masing-masing anggota badan. Sebab di zaman itu, kera adalah binatang yang biasa dijadikan kelinci percobaan untuk menguji kemujaraban obat.



Abu Zakaria Al-Razi dalam kitab Mansuri menyebutkan semua anggota badan dan menjelaskan fungsi masing-masing. Untuk setiap anggoat badan, ia menulis penjelasan dengan rinci. Dalam buku tersebut Al-Razi juga menerangkan tentang fisiologi anggota tubuh manusia. Semua ahli sejarah sepakat bahwa sampai abad ketujuh belas di Eropa, Abu Zakaria Al-Razi adalah mercu suar bagi kedokteran dalam dunia peradaban Islam dan Barat. Qadhi Shaed Andalusi, dalam kitabnya ‘Thabaqat Al-Ahamm’ menyebut Al-Razi sebagai bapak bagi kedokteran Arab, sementara para penulis lain menyebutnya dengan gelar Jalinus Kedokteran Arab.



Al-Razi meninggalkan banyak karya penulisan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya kedokteran, pengobatan, filsafat, fisika, kimia, astronomi, matematika, metafisika, dan berbagai cabang ilmu lainnya. Buku-buku karya Abu Zakaria Al-Razi berjumlah kurang lebih 273 karya yang sebagian besarnya adalah menyangkut ilmu kedokteran.

Tidak ada komentar: